Tekanan AS Lucuti Hamas kembali mengemuka setelah Senator Amerika Serikat Lindsey Graham melontarkan pernyataan keras dari Yerusalem pada Minggu 21 Desember 2025. Ia mendorong agar opsi aksi militer baru disiapkan jika Hamas dan kelompok Hizbullah tidak bersedia menyerahkan persenjataan mereka. Seruan itu muncul di tengah gencatan senjata yang dinilai rapuh, meski sejak Oktober 2025 situasi relatif mereda. Laporan terbaru menempatkan pernyataan itu sebagai sinyal bahwa Washington dapat memperketat syarat bagi perundingan berikutnya.
Di hadapan media, Graham menilai momentum jeda tembak harus dipakai untuk memastikan kelompok bersenjata tidak membangun ulang kekuatan. Ia menyinggung bahwa setelah sekitar tiga bulan gencatan senjata berjalan, Hamas disebut justru memperkuat kendalinya di Gaza dan mempertahankan jaringan bersenjata. Tekanan AS Lucuti Hamas, menurutnya, harus diterjemahkan menjadi target yang terukur dan bertenggat. Ia meminta rencana pelucutan disusun dengan batas waktu agar fase kedua gencatan senjata tidak berjalan tanpa kepastian keamanan.
Tekanan AS Lucuti Hamas menguat setelah Senator Lindsey Graham mendorong opsi aksi militer baru bila pelucutan senjata tak berjalan di Gaza. Di sisi Israel, isu pelucutan senjata disebut menjadi prasyarat menuju perdamaian permanen, sementara Hamas menuding masih ada pelanggaran di lapangan. Pernyataan Graham juga menambah ketegangan diplomatik karena beririsan dengan pembahasan fase lanjutan gencatan senjata, termasuk rencana pasukan internasional. Di tengah tarik ulur itu, Tekanan AS Lucuti Hamas menjadi sorotan baru yang memengaruhi arah negosiasi dan perhitungan keamanan kawasan.
Daftar isi
Tenggat Pelucutan Hamas dan Arah Negosiasi Gaza
Di jantung pernyataannya, Graham menuntut agar pembicaraan pascagencatan senjata tidak berhenti pada penghentian tembakan. Ia meminta disusun rencana yang mewajibkan Hamas melucuti senjata dalam batas waktu tertentu, dengan indikator yang bisa diverifikasi di lapangan, termasuk mekanisme pengawasan, pemusnahan gudang senjata, dan pengendalian perbatasan. Tekanan AS Lucuti Hamas, kata dia, harus memiliki tenggat agar tidak berubah menjadi jeda yang memberi ruang konsolidasi. Menurutnya, permintaan itu bukan sekadar retorika, melainkan kerangka kerja yang bisa dijalankan bersama mediator internasional dan otoritas keamanan setempat.
Graham menilai, setelah sekitar 90 hari gencatan senjata berjalan, Hamas disebut semakin kuat mengendalikan Gaza dan mempertahankan struktur militernya dengan kepemimpinan lapangan yang tetap utuh. Ia mengingatkan bahwa tanpa pelucutan, fase kedua kesepakatan berisiko gagal karena para pihak tidak akan memiliki dasar keamanan untuk melangkah. Dalam skema itu, Israel disebut menjadikan pembongkaran persenjataan Hamas sebagai syarat utama menuju perdamaian permanen. Ia juga menekankan bahwa tidak ada jaminan gencatan senjata bertahan jika jeda dimanfaatkan untuk memperbanyak roket, terowongan, atau perekrutan secara diam-diam dan berulang di kawasan.
Di sisi lain, isu pelucutan senjata menyentuh aspek kemanusiaan dan tata kelola karena Gaza tetap bergantung pada jalur bantuan serta pemulihan layanan dasar. Para pengamat menilai ketentuan keamanan yang terlalu keras bisa memicu resistensi, sementara kelonggaran berlebihan berisiko melanggengkan siklus kekerasan. Tekanan AS Lucuti Hamas pun ditempatkan sebagai ujian bagi kemampuan mediator merumuskan kompromi yang realistis, sekaligus menjaga kredibilitas komitmen keamanan di mata publik. Jika negosiasi macet, tekanan tersebut dapat mendorong langkah unilateral, dari pembatasan bantuan hingga operasi keamanan, yang berdampak langsung pada warga sipil.
Sorotan ke Hizbullah dan Gagasan Operasi Gabungan
Selain menyorot Gaza, Graham mengalihkan perhatian pada Hizbullah di Lebanon yang selama ini menjadi sumber kekhawatiran Israel. Ia menyebut kelompok itu harus menyerahkan senjata berat, dan menilai produksi persenjataan yang terus berjalan tidak dapat ditoleransi setelah konflik panjang. Tekanan AS Lucuti Hamas, dalam narasi Graham, terkait langsung dengan upaya mengurangi kemampuan kelompok bersenjata di dua front sekaligus. Bagi Israel, isu ini kerap dipandang setara ancaman, karena persenjataan berat dapat mengubah keseimbangan di perbatasan utara dalam hitungan jam, dalam konteks keamanan pascagencatan senjata kawasan ini.
Graham bahkan melontarkan gagasan operasi militer gabungan yang melibatkan Lebanon, Israel, dan Amerika Serikat jika Hizbullah menolak proses pelucutan. Opsi itu dipahami sebagai sinyal bahwa Washington ingin memperkuat posisi pencegahan, sekaligus menekan aktor lokal agar mematuhi skema keamanan baru. Namun wacana tersebut berisiko memicu reaksi keras karena menyentuh kedaulatan Lebanon dan meningkatkan peluang eskalasi lintas perbatasan. Sejumlah analis menilai, jika rencana itu benar-benar disorongkan, koordinasi intelijen dan aturan keterlibatan akan menjadi titik paling sensitif di antara tiga pihak, serta tekanan publik meningkat.
Di Beirut, pemerintah Lebanon disebut mulai memproses pelucutan senjata Hizbullah di wilayah selatan, tetapi Israel meragukan kapasitas militer Lebanon untuk menegakkan kebijakan tersebut. Hizbullah sendiri masih menolak menyerahkan persenjataan, sehingga membuka ruang tarik ulur politik di dalam negeri dan tekanan eksternal. Jika kebuntuan berlanjut, Tekanan AS Lucuti Hamas dapat ikut mendorong pembicaraan keamanan regional menjadi lebih tegang, dengan konsekuensi bagi warga di perbatasan. Pihak-pihak yang terlibat juga diperkirakan menimbang jalur diplomasi melalui mediator, agar proses pelucutan tidak berubah menjadi konflik terbuka yang lebih luas.
Fase Kedua Gencatan Senjata dan Kontroversi Turki
Seruan Graham muncul sehari setelah mediator dari Amerika Serikat, Qatar, Mesir, dan Turki menyerukan agar gencatan senjata di Gaza tetap dipertahankan. Dalam rancangan fase kedua, pembahasan mencakup penarikan pasukan Israel, pembentukan pasukan internasional, serta otoritas sementara untuk menggantikan pemerintahan Hamas. Tekanan AS Lucuti Hamas mempersempit ruang negosiasi karena pelucutan dijadikan prasyarat sebelum paket politik dan keamanan disepakati.
Di level diplomatik, tekanan itu juga dibaca sebagai upaya mengunci hasil gencatan senjata agar tidak sekadar berhenti pada jeda tembak, yang dapat dipantau dan dilaporkan secara berkala kepada publik internasional. Dari pihak Hamas, para mediator diminta menekan Israel agar menghentikan tindakan yang disebut sebagai pelanggaran, termasuk serangan artileri di wilayah Khan Yunis. Ketegangan di lapangan membuat isu keamanan, akses bantuan, dan pemulihan layanan dasar kembali menonjol karena setiap eskalasi kecil dapat mengguncang kepercayaan publik, termasuk soal keamanan koridor bantuan dan pergerakan warga. Dalam situasi ini, Tekanan AS Lucuti Hamas menjadi kartu tawar sekaligus sumber risiko, sebab tuntutan yang keras dapat memicu respons balasan atau memperlambat perundingan teknis.
Baca juga : Tawaran Amerika untuk Hamas Tukar Senjata dengan Kebebasan
Para pihak pun dihadapkan pada pilihan sulit antara menjaga stabilitas jangka pendek atau memaksakan perubahan struktural yang memerlukan waktu, dengan tekanan waktu menjelang penetapan tahapan implementasi di lapangan yang semakin ketat bagi mediator. Di Israel, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu disebut menanggapi isu pelucutan dengan memuji Graham sebagai sahabat besar Israel, sehingga pesan politiknya ikut menguat di dalam negeri.
Namun fokus lain yang tak kalah sensitif adalah rencana pasukan stabilisasi dan komposisi negara yang akan terlibat, karena menyentuh persepsi ancaman dan legitimasi. Graham menolak kemungkinan Turki ambil bagian dalam pasukan tersebut dengan alasan langkah itu tidak mendapat dukungan politik di Israel dan berpotensi memicu gejolak serius. Pada akhirnya, Tekanan AS Lucuti Hamas berkelindan dengan pertarungan diplomasi regional, sementara kelanjutan fase kedua masih bergantung pada kesediaan semua pihak memenuhi syarat keamanan, serta dinamika politik di Lebanon dan Israel.
