Serangan Balas Dendam Amerika ke basis ISIS di Suriah memicu perhatian internasional setelah ratusan amunisi presisi dijatuhkan ke berbagai sasaran pada pertengahan Desember 2025. Dalam operasi gabungan dengan sekutu regional, militer AS mengklaim menargetkan gudang senjata dan pusat komando ISIS, serta menegaskan bahwa Serangan Balas Dendam Amerika ini merupakan respons langsung atas tewasnya prajurit mereka di dekat Palmyra. Sejumlah analis menilai langkah tersebut menunjukkan pesan keras Washington, tetapi juga menambah kekhawatiran akan risiko eskalasi konflik di kawasan yang sudah lama bergolak dan menjadikan Serangan Balas Dendam Amerika sebagai babak baru dinamika keamanan Timur Tengah.
Serangan udara itu dikabarkan menghantam lebih dari tujuh puluh lokasi, mulai dari terowongan bawah tanah hingga fasilitas logistik di gurun Suriah timur. Komando Pusat AS menyebut seluruh target telah melalui proses verifikasi intelijen berlapis untuk meminimalkan korban sipil, namun lembaga pemantau independen menilai klaim itu masih perlu diuji. Di sisi lain, pemerintah Suriah dan sekutu mereka mengecam operasi ini sebagai pelanggaran kedaulatan, sementara kelompok hak asasi manusia menyoroti potensi derita baru bagi warga yang sudah lama hidup di tengah perang. Respons berbagai pihak inilah yang menjadikan serangan terbaru Amerika di Suriah kembali memicu perdebatan tentang batas kewajaran operasi antiteror lintas batas. Situasi lapangan tetap sangat dinamis.
Daftar isi
Latar Belakang Operasi dan Skala Serangan
Operasi yang melatarbelakangi Serangan Balas Dendam Amerika bermula dari serangan bom di dekat Palmyra yang menewaskan dua prajurit AS dan seorang penerjemah sipil. Washington menyebut para pelaku terkait jaringan ISIS yang masih aktif di kantong gurun Suriah dan Irak, meski kelompok itu telah kehilangan sebagian besar wilayah kekuasaannya. Menanggapi insiden tersebut, Presiden Joe Biden menginstruksikan militer melancarkan operasi besar yang kemudian dikenal sebagai Operation Hawkeye Strike dengan mandat menghancurkan infrastruktur militer ISIS yang dianggap bertanggung jawab. Dalam narasi resmi, Serangan Balas Dendam Amerika digambarkan sebagai pesan bahwa setiap serangan terhadap pasukan AS akan dibalas dengan kekuatan penuh yang terukur.
Untuk menjalankan misi ini, Angkatan Udara AS mengerahkan berbagai jenis pesawat tempur, mulai dari F-15, F-16, hingga A-10 Warthog yang terkenal sebagai pemburu target darat. Serangan roket jarak jauh dari sistem HIMARS dan artileri berat turut memperkuat tekanan, sementara pesawat pengintai tanpa awak memetakan pergerakan kelompok bersenjata. Laporan dari komando koalisi menyebut sekitar seratus amunisi presisi diarahkan ke gudang senjata, pusat komando, rute suplai, dan kamp pelatihan yang tersebar di Suriah tengah dan timur. Dalam keterangan pers, pejabat militer menegaskan bahwa Serangan Balas Dendam Amerika telah direncanakan dengan cermat selama beberapa hari untuk memastikan koordinasi dengan sekutu regional, termasuk Yordania, yang menyediakan dukungan udara dan akses wilayah.
Serangan Balas Dendam Amerika menggambarkan serangan udara AS ke basis ISIS di Suriah dengan 100 amunisi presisi sebagai balasan serangan mematikan. Meski demikian, sebagian pengamat mempertanyakan efektivitas strategi semacam ini dalam jangka panjang. Mereka menilai kelompok ekstremis kerap mampu beradaptasi dan berpencar ke sel-sel kecil. Serangan udara besar dinilai hanya menekan kemampuan operasional sementara tanpa menyentuh akar radikalisasi di tingkat lokal. Publik diminta waspada.
Kontroversi Hukum, Kedaulatan, dan Korban Sipil
Di luar narasi resmi, Serangan Balas Dendam Amerika memunculkan perdebatan sengit soal kedaulatan dan hukum internasional. Pemerintah Suriah mengecam serangan itu sebagai pelanggaran terang-terangan terhadap wilayahnya, sementara Rusia dan Iran menuding Washington kembali bertindak sewenang-wenang tanpa mandat Dewan Keamanan PBB. Mereka berargumen bahwa kehadiran pasukan asing tanpa undangan resmi membuka ruang konflik berkepanjangan dan memperlemah upaya diplomasi. Sejumlah pakar hukum menilai operasi semacam ini berada di wilayah abu-abu, karena dibenarkan oleh narasi perlawanan terhadap terorisme tetapi sulit lepas dari tudingan intervensi sepihak.
Lembaga pemantau konflik di Suriah melaporkan adanya korban jiwa di pihak militan, namun data mengenai warga sipil masih simpang siur karena akses ke lokasi amat terbatas. Organisasi hak asasi manusia mendesak penyelidikan independen demi memastikan bahwa Serangan Balas Dendam Amerika tidak menimbulkan kerugian tidak proporsional bagi masyarakat. Mereka mengingatkan bahwa pengalaman masa lalu menunjukkan korban sipil sering kali baru terungkap beberapa hari setelah operasi selesai. Sementara itu, kelompok oposisi Suriah memanfaatkan momen ini untuk mengkritik baik rezim Damaskus maupun keberadaan pasukan asing, dengan menekankan penderitaan rakyat yang tak kunjung berakhir. Namun sebagian warga di daerah yang dahulu dikuasai ISIS justru melihat serangan ini sebagai peluang memperlemah jaringan yang kembali berani mengangkat senjata.
Bagi negara-negara tetangga, operasi ini menjadi pengingat bahwa ancaman ISIS belum hilang meski kekhalifahan runtuh. Pemerintah Irak dan Yordania berhati-hati menyeimbangkan kerja sama keamanan dengan pertimbangan opini publik yang sensitif terhadap serangan asing. Pengamat menilai tanpa strategi politik dan rekonstruksi yang jelas, kekosongan kekuasaan di wilayah terpencil dapat kembali dimanfaatkan sel-sel ekstremis untuk merekrut anggota baru.
Implikasi bagi Kebijakan AS dan Masa Depan Suriah
Di Washington, Serangan Balas Dendam Amerika juga menjadi ujian bagi kebijakan luar negeri pemerintahan Biden yang berupaya mengurangi ketergantungan pada operasi militer besar di Timur Tengah. Publik AS semakin sensitif terhadap jatuhnya korban di luar negeri setelah pengalaman panjang di Irak dan Afghanistan, sementara kelompok hawkish di Kongres menuntut respons keras setiap kali pasukan diserang. Pemerintah berusaha menyeimbangkan dua tekanan tersebut dengan memilih operasi terbatas yang mengandalkan teknologi senjata presisi dan dukungan intelijen tinggi, sehingga dianggap cukup kuat untuk mengirim sinyal tanpa terjerumus ke perang darat baru.
Namun sejumlah pengamat memperingatkan bahwa pola serangan berulang dapat memicu siklus balas dendam yang sulit diputus. Di tingkat global, sekutu Barat umumnya mendukung langkah Amerika meski sebagian menyuarakan pentingnya transparansi mengenai korban dan dasar hukum operasi. Negara-negara Eropa yang terlibat koalisi antiteror berharap operasi ini mampu menekan kemampuan serangan luar negeri ISIS yang pernah melanda kota-kota mereka. Di sisi lain, beberapa negara di Selatan Global melihat aksi ini sebagai bukti standar ganda ketika menyikapi pelanggaran kedaulatan, sehingga berpotensi merusak upaya membangun koalisi lebih luas menghadapi berbagai krisis.
Baca juga : Komitmen Suriah Lawan ISIS Usai Serangan Besar AS Terbaru
Dilema ini menunjukkan betapa sulitnya menjaga keseimbangan antara keamanan dan legitimasi di mata komunitas internasional. Ke depan, masa depan ISIS dan stabilitas Suriah akan sangat ditentukan oleh kemampuan aktor-aktor lokal memperbaiki tata kelola dan menyediakan layanan dasar bagi warga. Tanpa reformasi politik dan rekonstruksi ekonomi, ruang bagi ideologi radikal akan tetap terbuka lebar meski kemampuan militer kelompok tertekan.
Amerika Serikat sendiri dituntut menyusun strategi yang menggabungkan tekanan militer terbatas dengan dukungan diplomatik dan pembangunan, alih-alih bergantung pada Serangan Balas Dendam Amerika semata. Hanya dengan pendekatan menyeluruh, peluang munculnya kembali ancaman serupa di masa depan dapat benar-benar ditekan, sekaligus memberi harapan baru bagi jutaan warga yang lelah hidup di tengah perang panjang. Peran lembaga regional dan organisasi kemanusiaan juga akan menentukan arah rekonstruksi Suriah yang lebih inklusif.
