Dalam razia yang berlangsung pada 6 Juni itu, petugas ICE melakukan penggerebekan di berbagai tempat — mulai dari pasar swalayan, distrik mode, kawasan industri kecil, hingga tempat ibadah. Data sementara menunjukkan setidaknya 300 orang berhasil diamankan hanya dalam hitungan jam, memicu awal gelombang protes anti Trump yang meluas. Banyak dari mereka telah lama tinggal di Amerika dan berkontribusi secara ekonomi, meski tidak memiliki dokumen resmi.
Daftar isi
Mereka yang ditahan datang dari berbagai latar belakang etnis. Tak hanya warga Meksiko, sejumlah warga negara Indonesia, Filipina, dan Amerika Tengah ikut terkena imbasnya. Bahkan, beberapa anak kecil turut diamankan, memicu kecaman keras dari kelompok hak asasi manusia dan perwakilan pemerintah negara asal.
Komunitas imigran di Los Angeles yang selama ini dikenal sebagai salah satu yang paling beragam di AS, langsung diguncang ketakutan. Banyak keluarga yang terpisah akibat operasi ini. Banyak juga yang mulai meninggalkan rumah mereka untuk menghindari kemungkinan penahanan berikutnya.
Demonstrasi Meletus di Berbagai Wilayah
Tak berselang lama setelah operasi berlangsung, ribuan orang turun ke jalan di pusat kota Los Angeles. Awalnya, aksi berlangsung damai. Namun ketegangan mulai meningkat ketika aparat berusaha membubarkan kerumunan. Di beberapa lokasi seperti Westlake dan Paramount, terjadi bentrokan fisik antara aparat keamanan dan demonstran.
Demonstran yang marah melemparkan batu dan botol ke arah aparat. Sebagai tanggapan, polisi menembakkan gas air mata, granat kejut, serta peluru karet. Media lokal melaporkan puluhan orang terluka dalam bentrokan tersebut.
Dalam beberapa hari, protes anti Trump meluas ke kota-kota besar lainnya seperti San Francisco, Seattle, Portland, New York, dan Chicago. Tagar #ProtesAntiTrump dan #NoKings langsung trending di berbagai platform media sosial, menggambarkan meluasnya ketidakpuasan publik terhadap cara pemerintahan Trump menangani imigrasi.
Pengerahan National Guard Memperkeruh Situasi
Melihat eskalasi protes anti Trump yang makin membesar, Presiden Trump memutuskan mengambil langkah ekstrem. Sekitar 4.000 personel National Guard dikirim ke Los Angeles dan beberapa kota rawan lainnya. Pemerintah kota pun terpaksa menetapkan jam malam untuk mencegah bentrokan lanjutan.
Pengerahan pasukan bersenjata ini justru memancing kritik lebih tajam. Walikota Los Angeles Karen Bass serta Gubernur California Gavin Newsom menyebut langkah Trump sebagai bentuk intimidasi federal terhadap rakyat sipil. Mereka menegaskan bahwa persoalan imigrasi seharusnya diselesaikan secara manusiawi, bukan dengan pendekatan militeristik.
Kecaman dari Komunitas Internasional
Gelombang protes anti Trump tak hanya berkumandang di dalam negeri. Pemerintah Meksiko, yang warganya paling banyak terjaring razia, secara resmi mengajukan nota protes diplomatik. Konsulat Indonesia di Los Angeles pun turut melayangkan keberatan setelah beberapa warga negara Indonesia turut diamankan oleh ICE.
Berbagai organisasi internasional mulai dari Human Rights Watch hingga Amnesty International juga angkat suara, mengecam keras tindakan keras pemerintahan Trump yang dinilai melanggar hak asasi manusia dan konstitusi Amerika Serikat.
Pembelahan Publik Semakin Tajam
Sebagaimana periode sebelumnya, publik Amerika kembali terbelah. Sebagian kalangan konservatif mendukung langkah Trump dengan alasan penegakan hukum imigrasi dan keamanan nasional. Sementara itu, kelompok progresif menilai bahwa kebijakan ini hanya memperdalam luka sosial dan memperburuk citra Amerika di mata dunia.
Survei nasional terbaru menunjukkan peningkatan polarisasi di antara pemilih. Sekitar 47% pemilih Partai Republik mendukung operasi ICE tersebut, sementara 65% pendukung Demokrat mengecam keras tindakan Trump.
Media sosial memainkan peran besar dalam penyebaran narasi di kedua kubu. Sementara kelompok pendukung Trump mengibarkan slogan “Law and Order”, kubu oposisi terus mendorong narasi “No Human Being is Illegal” sebagai bentuk perlawanan.
Implikasi Politik Jangka Panjang
Situasi politik domestik Amerika kini memasuki babak baru yang lebih panas. Para analis politik memprediksi bahwa gelombang protes anti Trump ini akan menjadi isu utama dalam kampanye pemilu sela 2026 mendatang. Partai Demokrat diperkirakan akan menjadikan kebijakan imigrasi Trump sebagai sasaran utama dalam upaya merebut kembali kendali Kongres.
Sebaliknya, Trump tetap kukuh dengan agenda “America First” yang menjadi fondasi kuat dukungan basis pemilih setianya. Dalam beberapa pidato terakhirnya, ia bahkan menegaskan akan memperluas operasi serupa ke negara bagian lain.
Kebijakan keras imigrasi yang diambil pemerintahan Trump di periode kedua memicu babak baru perlawanan publik. Protes anti Trump bukan hanya sekadar demonstrasi jalanan, melainkan mencerminkan ketegangan ideologi yang masih mengakar dalam sistem politik Amerika Serikat.
Bagaimana situasi ini akan berkembang ke depan masih sulit diprediksi. Namun satu hal yang jelas: Amerika kembali berada di persimpangan besar dalam menentukan wajah demokrasinya sendiri.
Baca Juga: