Pesan penting kembali menggema di tengah konflik yang masih berlangsung di Gaza. Seruan lantang bahwa jurnalistik bukan kejahatan disampaikan oleh berbagai aktivis dan tokoh, termasuk Maimon Herawati dari SMART 171, yang menekankan bahwa wartawan tidak seharusnya menjadi target kekerasan. Dalam pernyataannya, ia menegaskan bahwa profesi jurnalis adalah pilar kebebasan, bukan ancaman yang perlu dibungkam dengan cara-cara represif.
Pernyataan ini muncul setelah meningkatnya jumlah korban jiwa dari kalangan jurnalis di Palestina. Data dari organisasi internasional menunjukkan bahwa puluhan hingga ratusan wartawan telah menjadi korban serangan dalam beberapa bulan terakhir. Kasus terbaru adalah tewasnya jurnalis Al Jazeera, Anas Al-Sharif, yang menimbulkan kecaman luas. Situasi ini mempertegas seruan bahwa jurnalistik bukan kejahatan, melainkan fondasi demokrasi yang harus dilindungi semua pihak, termasuk oleh kekuatan besar dunia seperti Israel dan Amerika Serikat.
Seruan ini juga menjadi pengingat bagi komunitas global untuk tidak tinggal diam. Setiap serangan terhadap jurnalis merupakan serangan terhadap kebebasan pers itu sendiri, sebuah prinsip universal yang menjadi hak asasi manusia.
Daftar isi
Kebebasan Pers dan Realitas di Gaza
Konflik yang terus berkobar di Gaza bukan hanya merenggut nyawa warga sipil, tetapi juga para pewarta berita yang berada di garis depan. Banyak jurnalis yang terpaksa bekerja dalam kondisi berbahaya demi menyampaikan kebenaran kepada dunia. Namun, fakta bahwa jurnalistik bukan kejahatan tampaknya diabaikan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata.
Kasus kematian Anas Al-Sharif menjadi contoh nyata betapa rentannya posisi wartawan di daerah perang. Ia dikenal sebagai jurnalis yang konsisten melaporkan situasi lapangan secara jujur dan mendetail. Kematian al-Sharif memunculkan gelombang kecaman internasional, termasuk dari organisasi kebebasan pers yang menegaskan bahwa tindakan ini tidak dapat dibenarkan dalam situasi apa pun.
Selain itu, laporan dari berbagai lembaga independen menunjukkan adanya pola sistematis dalam penargetan jurnalis. Hal ini memunculkan kekhawatiran bahwa pembungkaman informasi sedang berlangsung. Jika jurnalistik bukan kejahatan, maka dunia internasional perlu menegakkan standar perlindungan yang lebih kuat terhadap pekerja media di medan konflik.
Reaksi Global dan Tuntutan Perlindungan
Kecaman atas kekerasan terhadap jurnalis tidak hanya datang dari kelompok masyarakat sipil, tetapi juga dari sejumlah negara dan organisasi internasional. Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) menekankan bahwa kebebasan pers adalah bagian penting dari hak asasi manusia. Dengan kata lain, jurnalistik bukan kejahatan yang bisa diberangus, melainkan sarana penting bagi transparansi dan akuntabilitas.
Reaksi keras juga datang dari lembaga seperti Committee to Protect Journalists (CPJ) dan Reporters Without Borders (RSF). Mereka menuntut investigasi mendalam terhadap setiap kasus pembunuhan jurnalis, sekaligus mendesak Israel serta Amerika untuk menjamin keselamatan pekerja media. Pernyataan mereka mempertegas bahwa tindakan penyerangan terhadap jurnalis adalah pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional.
Gelombang solidaritas juga meluas di dunia maya. Tagar #JournalismIsNotACrime viral di berbagai platform media sosial, menjadi pengingat global bahwa jurnalistik bukan kejahatan. Masyarakat dunia, mulai dari akademisi, aktivis, hingga tokoh politik, bersatu menyuarakan pentingnya perlindungan bagi jurnalis di daerah konflik.
Pertanyaan besar kini muncul: bagaimana masa depan kebebasan pers jika jurnalis terus menjadi korban konflik? Jika dunia membiarkan tren ini berlanjut, maka akses terhadap informasi yang objektif akan semakin terbatas. Padahal, kehadiran jurnalis di lapangan sangat penting untuk mengungkap fakta sebenarnya dan menepis propaganda. Oleh sebab itu, penegasan bahwa jurnalistik bukan kejahatan harus diikuti dengan langkah nyata dari komunitas internasional.
Baca juga : Iran Tangkap 21.000 Tersangka Saat Perang 12 Hari
Langkah-langkah konkret yang bisa dilakukan antara lain memperkuat mekanisme perlindungan bagi jurnalis, meningkatkan tekanan diplomatik kepada pihak-pihak yang melanggar, serta memberikan sanksi internasional kepada aktor yang terlibat dalam pembunuhan wartawan. Selain itu, media global juga diharapkan tidak tinggal diam, melainkan terus menyoroti isu ini agar tidak tenggelam di balik isu-isu politik lainnya.
Masa depan kebebasan pers juga sangat bergantung pada keberanian jurnalis itu sendiri. Meski risiko tinggi, banyak wartawan di Gaza dan wilayah konflik lain tetap berkomitmen menjalankan tugasnya. Mereka menjadi bukti nyata bahwa semangat untuk menegakkan kebenaran lebih besar daripada rasa takut. Dunia internasional memiliki kewajiban moral untuk memastikan bahwa pesan jurnalistik bukan kejahatan benar-benar diwujudkan dalam kebijakan dan tindakan nyata.