Isu Janji Kosong Amerika kembali mencuat dalam Sidang Umum PBB yang membahas konflik Palestina-Israel. Meskipun sebanyak 142 negara anggota PBB menyatakan dukungan terhadap solusi dua negara, Amerika Serikat dianggap tidak konsisten. Di satu sisi, AS kerap menyatakan komitmen terhadap perdamaian, namun di sisi lain terus menggunakan hak vetonya di Dewan Keamanan untuk menggagalkan resolusi yang menekan Israel.
Fenomena ini membuat banyak pengamat menyebut janji yang dilontarkan AS hanya sebagai retorika diplomatik. Penulis di Republika menyoroti hal ini dengan merujuk pada logika filsuf Muslim Alfarabi, yang menekankan bahwa masyarakat ideal harus dibangun atas dasar keadilan. Dalam konteks ini, Janji Kosong Amerika menjadi simbol kegagalan sistem global untuk menjadikan suara mayoritas sebagai dasar kebijakan yang nyata.
Bagi rakyat Palestina, situasi ini menghadirkan kekecewaan mendalam. Mereka menyaksikan dukungan mayoritas dunia yang tidak berbuah tindakan konkret, karena terhalang oleh veto satu negara. Kondisi ini juga memunculkan pertanyaan besar: apakah struktur PBB masih relevan untuk mewujudkan keadilan global jika hanya segelintir negara yang bisa menentukan arah keputusan bersama?
Daftar isi
Kritik Atas Veto Dan Struktur PBB
Salah satu sorotan utama adalah penggunaan hak veto PBB oleh Amerika Serikat. Inilah alasan mengapa istilah Janji Kosong Amerika begitu sering dipakai. Janji perdamaian yang terus diulang tak pernah diikuti dengan langkah hukum mengikat karena veto dijadikan tameng untuk melindungi Israel dari kecaman internasional.
Struktur Dewan Keamanan PBB yang menempatkan lima negara dengan hak veto dianggap usang dan tidak lagi mencerminkan realitas global. Mayoritas negara, melalui Sidang Umum, sudah menyuarakan dukungan untuk Palestina, namun kekuatan segelintir negara masih bisa membatalkan suara mayoritas tersebut. Kritik pun datang dari akademisi, aktivis, hingga negara-negara berkembang yang menilai sistem ini lebih banyak melanggengkan kepentingan politik ketimbang membela hak asasi manusia.
Dalam kerangka Alfarabi, masyarakat ideal adalah ketika kepentingan bersama ditegakkan di atas kepentingan pribadi. Namun, Janji Kosong Amerika di forum internasional justru menunjukkan kebalikan. Kepentingan politik domestik dan geopolitik AS lebih diutamakan daripada penderitaan jutaan warga Palestina. Hal ini menegaskan perlunya reformasi besar dalam sistem PBB agar suara kolektif benar-benar bermakna.
Dampak Global Dari Janji Kosong Amerika
Tidak hanya bagi Palestina, Janji Kosong Amerika juga berdampak pada kredibilitas diplomasi global. Banyak negara mulai mempertanyakan apakah komitmen yang disuarakan oleh negara adidaya benar-benar bisa dipercaya. Ketika janji hanya menjadi retorika tanpa aksi nyata, maka kepercayaan internasional terhadap PBB ikut terkikis.
Bagi negara-negara kecil, hal ini menghadirkan dilema. Mereka sering menjadikan forum internasional sebagai wadah untuk menyuarakan aspirasi, namun menyadari bahwa suara mereka bisa dipatahkan hanya oleh satu veto. Konsekuensinya, PBB semakin dipandang sebagai lembaga yang kehilangan taringnya, meskipun tetap menjadi simbol moral.
Lebih jauh lagi, Janji Kosong Amerika memperkuat sentimen anti-Barat di banyak negara. Retorika soal demokrasi, hak asasi, dan perdamaian menjadi kontradiktif ketika di lapangan justru terjadi ketidakadilan. Situasi ini berpotensi mendorong negara-negara untuk mencari aliansi alternatif di luar kerangka Barat, termasuk dengan kekuatan baru seperti Tiongkok atau blok negara berkembang.
Filsafat Alfarabi menekankan pentingnya rasionalitas dan keadilan dalam membentuk masyarakat yang ideal. Dalam konteks geopolitik, logika ini relevan untuk mengkritisi Janji Kosong Amerika. Menurut Alfarabi, keadilan tidak dapat ditegakkan jika masih ada sistem yang memungkinkan kepentingan segelintir pihak menindas kepentingan mayoritas.
Dengan demikian, reformasi PBB menjadi kebutuhan mendesak. Beberapa opsi yang sering didiskusikan adalah pembatasan hak veto, penambahan anggota tetap Dewan Keamanan, atau memperkuat peran Majelis Umum agar resolusinya lebih mengikat. Apapun bentuknya, dunia membutuhkan mekanisme baru agar suara kolektif tidak lagi dipatahkan dengan mudah.
Meski jalan menuju perubahan tidak mudah, semakin banyak negara yang berani menyoroti Janji Kosong Amerika menunjukkan adanya kesadaran global yang tumbuh. Negara-negara berkembang, organisasi masyarakat sipil, hingga lembaga internasional terus mendorong agar reformasi sistem PBB menjadi kenyataan. Harapan terbesar tentu saja adalah terciptanya keadilan bagi rakyat Palestina dan stabilitas dunia yang lebih berkelanjutan.
Pada akhirnya, Janji Kosong Amerika bukan sekadar isu politik, melainkan juga cermin dari kelemahan struktur internasional. Logika Alfarabi mengajarkan bahwa keadilan sejati hanya bisa tercapai jika sistem mendukungnya. Tanpa itu, janji akan tetap kosong, dan penderitaan akan terus berulang.