AS Dorong Ganti Departemen Pertahanan Jadi Departemen Perang

As dorong ganti departemen pertahanan jadi departemen perang

Usulan Amerika Serikat untuk ganti Departemen Pertahanan menjadi Departemen Perang menimbulkan diskusi luas di dalam negeri maupun internasional. Presiden Donald Trump menyatakan bahwa istilah “Pertahanan” terdengar terlalu pasif, sementara nama “Perang” dianggap lebih mencerminkan semangat ofensif militer Amerika. Menurutnya, di bawah nama Departemen Perang as, AS berhasil memenangkan dua Perang Dunia dan mencapai kejayaan global.

Pernyataan itu langsung memantik reaksi dari berbagai kalangan. Sebagian politisi Partai Republik mendukung ide tersebut sebagai bagian dari penguatan identitas nasional dan strategi militer yang lebih tegas. Namun, oposisi Demokrat menilai bahwa langkah untuk ganti Departemen Pertahanan justru berisiko menimbulkan citra agresif di mata dunia, memicu kekhawatiran sekutu, sekaligus memperburuk tensi dengan rival geopolitik.

Secara historis, Departemen Perang memang pernah ada di Amerika hingga 1947, sebelum akhirnya diganti menjadi Departemen Pertahanan melalui reorganisasi besar pasca-Perang Dunia II. Kini, wacana tersebut dimunculkan kembali, memperlihatkan bagaimana politik simbolis digunakan untuk menegaskan arah kebijakan luar negeri dan keamanan nasional.

Sejarah Nama dan Alasan Pergantian

Upaya untuk ganti Departemen Pertahanan tak bisa dilepaskan dari sejarah panjang birokrasi militer Amerika. Departemen Perang awalnya menjadi lembaga utama sejak abad ke-18, menangani Angkatan Darat dan operasi militer negara. Namun setelah Perang Dunia II, pemerintah merasa perlu restrukturisasi besar, dengan mengintegrasikan Angkatan Darat, Laut, dan kemudian Angkatan Udara di bawah satu payung bernama Departemen Pertahanan.

Nama baru dipilih bukan hanya demi koordinasi, tetapi juga sebagai upaya mengurangi kesan agresif di tengah upaya membangun perdamaian pascaperang. Istilah “Pertahanan” dianggap lebih netral, menekankan pada aspek melindungi keamanan nasional, bukan menyerang negara lain. Kini, dengan dorongan Trump untuk ganti Departemen Pertahanan, sebagian pihak menilai AS ingin kembali menampilkan diri sebagai kekuatan ofensif, bukan sekadar defensif.

Bagi para pendukung, penggunaan kata “Perang” akan mengingatkan publik pada masa kejayaan ketika Amerika tampil sebagai pemenang di konflik besar dunia. Mereka berargumen, istilah itu juga bisa meningkatkan semangat patriotisme dan moral pasukan. Sebaliknya, pihak yang menolak menilai langkah ini lebih sebagai strategi politik simbolik ketimbang kebutuhan nyata, apalagi struktur dan fungsi departemen tidak akan banyak berubah hanya karena nama.

Pro Kontra Politik dan Respons Internasional

Di level politik domestik, wacana untuk ganti Departemen Pertahanan sudah memunculkan dinamika di Kongres. Anggota DPR dari Florida, Greg Steube, bahkan telah mengajukan amandemen dalam RUU pertahanan tahunan untuk melegalkan nama baru tersebut. Namun jalannya masih panjang karena harus melewati komite, persetujuan DPR, dan Senat.

Bagi pendukung Trump, perubahan nama ini sejalan dengan agenda pemerintahan yang ingin menghapus elemen yang mereka sebut sebagai “woke ideology” dalam militer. Fokus diarahkan kembali pada “warfighters” atau prajurit tempur. Namun bagi oposisi Demokrat, ini hanya manuver politik yang bisa merusak citra Amerika sebagai pemimpin global yang mengedepankan diplomasi.

Dari luar negeri, sekutu Eropa menanggapi dengan hati-hati. Mereka khawatir perubahan simbolik ini menandakan arah kebijakan luar negeri AS yang lebih agresif. Sementara itu, rival seperti Rusia dan China bisa saja menggunakan isu ganti Departemen Pertahanan ini sebagai propaganda untuk menggambarkan Amerika sebagai kekuatan militer yang haus konflik. Para analis menilai, perubahan istilah bisa memberi dampak psikologis dalam diplomasi, meskipun fungsi birokrasi militer tak akan banyak berubah.

Jika Kongres benar-benar menyetujui langkah untuk ganti Departemen Pertahanan, maka dampaknya tidak hanya sekadar simbolik. Ribuan dokumen resmi, anggaran, pidato presiden, hingga materi pelatihan militer harus diperbarui sesuai nama baru. Ini berarti pekerjaan administratif yang besar, dengan biaya miliaran dolar.

Di masyarakat, opini terbelah. Pendukung Trump menyambutnya sebagai langkah revolusioner untuk mengembalikan kebanggaan nasional. Namun sebagian kalangan sipil menilai, retorika “Perang” justru dapat memperlebar jurang dengan komunitas internasional. Bagi mereka, yang lebih penting adalah transparansi anggaran militer dan peningkatan kesejahteraan veteran, bukan sekadar pergantian nama.

Ke depan, peluang wacana ini terwujud masih fifty-fifty. Jika Partai Republik menguasai mayoritas penuh di Kongres, amandemen bisa saja lolos. Namun bila oposisi kuat, langkah ini mungkin hanya berhenti sebatas retorika politik. Meski demikian, perdebatan soal ganti Departemen Pertahanan memperlihatkan bagaimana simbol dan bahasa bisa menjadi instrumen penting dalam membentuk narasi kebijakan luar negeri suatu negara.

Apapun hasil akhirnya, diskusi ini menunjukkan bahwa politik Amerika tak hanya soal kebijakan substantif, tetapi juga permainan kata yang bisa memengaruhi persepsi publik global. Pada akhirnya, publik menunggu apakah perubahan nama itu benar-benar membawa konsekuensi nyata, atau sekadar menjadi alat retorika dalam kontestasi politik domestik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *