Regulasi senjata Trump kembali mengundang kontroversi di tengah meningkatnya ketegangan politik nasional. Presiden Donald Trump, melalui Departemen Kehakiman yang kini dipimpin oleh Jaksa Agung Pam Bondi, secara resmi mengajukan proposal aturan baru yang memungkinkan mantan narapidana tertentu mendapatkan kembali hak kepemilikan senjata.
Proposal tersebut diumumkan pada 18 Juli 2025 melalui Federal Register, dengan dasar hukum 18 U.S.C. 925(c), yang memperbolehkan Jaksa Agung mengabulkan permohonan kepemilikan senjata bagi individu yang tidak lagi dianggap sebagai ancaman terhadap masyarakat. Aturan ini membuka jalan bagi ribuan warga yang sebelumnya kehilangan hak tersebut karena catatan kriminal, untuk mengajukan pemulihan secara administratif.
Daftar isi
Penolakan Mahkamah Agung untuk Ikut Campur
Sementara gelombang kritik bermunculan dari kelompok pengawas senjata, Mahkamah Agung Amerika Serikat memilih untuk tidak memberikan komentar atau mengambil keputusan terhadap sejumlah gugatan yang diajukan terhadap regulasi senjata Trump.
Beberapa negara bagian seperti Maryland dan Rhode Island sebelumnya mengajukan keberatan hukum terhadap pelonggaran aturan ini. Namun, Mahkamah Agung menolak untuk mendengarkan kasus tersebut karena tidak mendapatkan cukup suara dari para hakim untuk diajukan ke sidang penuh.
Keputusan ini menandakan bahwa pengadilan tertinggi AS enggan mencampuri isu yang bisa memicu polarisasi politik lebih dalam, meskipun konstelasi hakim diisi mayoritas konservatif yang diangkat semasa Trump menjabat.
Pemangkasan Peran ATF oleh DOGE
Sebagai bagian dari pelaksanaan regulasi senjata Trump, pemerintahan membentuk badan khusus bernama Department of Government Efficiency (DOGE). Tugas utama DOGE adalah memangkas setidaknya 50 peraturan ketat yang diberlakukan oleh ATF (Biro Alkohol, Tembakau, Senjata Api, dan Bahan Peledak) semasa pemerintahan Biden.
Langkah ini termasuk pengurangan drastis jumlah inspektur ATF hingga dua pertiga, serta pencabutan kebijakan zero-tolerance yang sebelumnya memungkinkan pencabutan lisensi toko senjata hanya karena pelanggaran administratif minor.
Selain itu, pemerintahan juga menyetujui kesepakatan hukum baru yang memperbolehkan kembali penjualan perangkat kontroversial seperti forced reset trigger, alat yang mampu meningkatkan kecepatan tembakan senjata semi-otomatis, yang sebelumnya dilarang oleh ATF.
Pro dan Kontra di Kalangan Publik
Kebijakan ini segera memicu perdebatan nasional. Pendukung Trump memuji regulasi senjata Trump sebagai langkah penting dalam memperkuat kebebasan sipil dan hak konstitusional individu untuk mempertahankan diri. Mereka berargumen bahwa banyak mantan narapidana telah menjalani hukumannya dan seharusnya mendapat kesempatan kedua.
Namun di sisi lain, kelompok kontrol senjata menganggap kebijakan ini sangat berbahaya. Mereka memperingatkan bahwa tanpa proses verifikasi yang ketat, banyak individu berisiko tinggi bisa kembali mengakses senjata, meningkatkan potensi kekerasan bersenjata di masyarakat.
Perdebatan semakin tajam karena pengawasan ATF telah dikurangi secara drastis. Laporan terbaru menyebutkan adanya penurunan inspeksi lapangan, serta lemahnya pengawasan terhadap transaksi senjata api antarnegara bagian.
Implikasi Politik Jangka Panjang
Regulasi senjata Trump juga dianggap sebagai manuver politik strategis menjelang pemilu. Dengan memperkuat basis pemilih pro-senjata dan membatalkan sejumlah kebijakan era Biden, Trump menunjukkan kesetiaan terhadap nilai-nilai konservatif Amerika.
Di sisi lain, Mahkamah Agung yang bersikap pasif memberi sinyal bahwa lembaga peradilan tertinggi tersebut enggan terlibat dalam keputusan politik yang bersifat eksplosif. Beberapa pengamat menyebut ini sebagai “diam yang bersuara,” di mana sikap tidak bertindak justru memiliki dampak hukum yang signifikan terhadap arah kebijakan nasional.
Baca juga : Trump Chelsea Club World Cup Bikin Geger Final Sepak Bola
Kebijakan pelonggaran senjata yang dilakukan Trump melalui regulasi senjata Trump menciptakan dinamika baru dalam lanskap hukum dan politik Amerika Serikat. Di satu sisi, kebijakan ini dianggap sebagai pemulihan hak sipil bagi mantan napi. Di sisi lain, banyak pihak khawatir akan dampaknya terhadap keamanan publik.
Dengan Mahkamah Agung tetap diam dan ATF dipangkas fungsinya, masa depan kontrol senjata di Amerika kini berada dalam ketidakpastian. Perubahan ini bisa menjadi warisan penting Trump dalam periode kedua kepresidenannya, sekaligus tantangan besar bagi siapa pun yang berkuasa setelahnya.