Trump ancam tarif 20–30% pada Brunei, Libya, Moldova & 4 negara lain mulai Agustus. Apa alasannya, dampaknya, dan risiko ekonomi global? Simak di sini! Dalam surat resmi yang dikirimkan ke pemerintahan negara-negara tersebut, Trump memperingatkan bahwa mulai 1 Agustus 2025, Amerika Serikat akan memberlakukan tarif sebesar 20 hingga 30 persen atas barang-barang impor dari negara-negara itu, jika tidak tercapai kesepakatan dagang baru.
Trump menyatakan kebijakan ini sebagai langkah balasan terhadap apa yang disebutnya “praktik perdagangan tidak adil” yang selama ini merugikan kepentingan ekonomi Amerika. Dia mengklaim negara-negara tersebut menerapkan kebijakan subsidi, hambatan tarif, atau praktik ekspor tertentu yang dianggap mendistorsi pasar dan menekan perusahaan-perusahaan Amerika. Melalui platform media sosial miliknya, Truth Social, Trump menuliskan bahwa kebijakan tarif ini adalah “cara terbaik memastikan Amerika tidak lagi dipermainkan oleh negara-negara kecil yang menikmati surplus perdagangan di punggung pekerja kita.”
Tarif yang diusulkan bervariasi: Brunei dan Moldova akan dikenakan tarif 25 persen, Filipina dikenai 20 persen, sedangkan Aljazair, Libya, Irak, dan Sri Lanka menghadapi tarif 30 persen. Menurut laporan The Guardian, kebijakan ini terkesan menjadi kelanjutan dari kebijakan “Liberation Day tariffs” yang pertama kali diumumkan Trump pada April lalu, yang juga memberikan tenggat waktu bagi negara-negara mitra dagang untuk menegosiasikan ulang kesepakatan mereka dengan Amerika sebelum dikenakan tarif tinggi.
Daftar isi
Alasan Ekonomi di Balik Kebijakan Tarif
Trump menekankan bahwa kebijakan tarif ini bertujuan untuk melindungi industri dalam negeri Amerika Serikat. Dia menganggap banyak negara memanfaatkan celah kebijakan perdagangan bebas untuk menciptakan keunggulan kompetitif secara tidak wajar. Selain itu, Trump berulang kali menegaskan bahwa tarif merupakan senjata diplomasi yang efektif untuk memaksa negara lain duduk di meja negosiasi dan memberikan kesepakatan yang lebih menguntungkan bagi Amerika.
Namun, kebijakan ini memicu kekhawatiran luas dari kalangan ekonom dan pelaku bisnis di Amerika. Lembaga riset Oxford Economics memperingatkan bahwa kenaikan tarif impor bisa memicu inflasi dengan meningkatkan harga barang konsumsi. Produk impor yang sebelumnya bebas bea masuk atau dikenakan tarif rendah akan menjadi lebih mahal. Beban biaya tambahan ini sangat mungkin dibebankan kepada konsumen, yang berarti daya beli masyarakat bisa menurun.
Tak hanya di sektor konsumen, industri Amerika yang mengandalkan bahan baku impor juga berpotensi terkena imbas serius. Misalnya, sektor otomotif, elektronik, hingga konstruksi akan merasakan tekanan jika harga komponen impor meningkat. Selain itu, pengusaha Amerika khawatir negara-negara yang terkena tarif akan melakukan balasan dengan memberlakukan tarif serupa terhadap produk ekspor Amerika, yang bisa merugikan sektor pertanian, teknologi, dan manufaktur.
Dampak Global dan Risiko Ketegangan Dagang
Kebijakan tarif Trump terhadap negara-negara seperti Brunei, Libya, dan Moldova juga memiliki implikasi geopolitik yang signifikan. Negara-negara tersebut bukanlah mitra dagang besar Amerika jika dilihat dari volume perdagangan, tetapi kebijakan ini mengirimkan sinyal bahwa Amerika di bawah kepemimpinan Trump bersikap keras terhadap negara mana pun yang dianggap tidak adil dalam hubungan dagang. Ini mempertegas pendekatan unilateral Amerika, yang beberapa tahun terakhir membuat resah banyak negara di forum perdagangan internasional.
Filipina dan Sri Lanka, misalnya, selama ini memiliki hubungan dagang erat dengan Amerika. Filipina mengandalkan ekspor elektronik, produk tekstil, dan bahan baku pertanian ke pasar AS. Penerapan tarif 20 persen bisa memukul perekonomian negara tersebut yang kini sedang berupaya memulihkan diri pasca-pandemi. Di sisi lain, Moldova menghadapi risiko besar karena ekonominya kecil dan sangat bergantung pada perdagangan dengan Uni Eropa dan Amerika. Pengenaan tarif tinggi bisa membuat Moldova kehilangan salah satu pasar ekspor pentingnya, memperparah masalah ekonomi dalam negeri.
Libya, Irak, dan Aljazair, yang tengah berjuang menstabilkan kondisi politik dan keamanan, khawatir tarif AS akan berdampak pada pendapatan mereka dari ekspor minyak dan gas. Sementara itu, Brunei, yang juga merupakan anggota ASEAN, menyatakan akan segera mengirim delegasi diplomatik ke Washington untuk bernegosiasi guna menghindari tarif tersebut.
Baca juga : Negara Termiskin lobi politik Trump, Tawarkan Mineral Demi Bantuan AS
Pengamat perdagangan internasional menilai kebijakan Trump ini dapat meningkatkan ketidakpastian ekonomi global. Negara-negara mitra AS mungkin memilih bekerja sama lebih erat dengan blok ekonomi lain, seperti Uni Eropa atau Tiongkok, untuk mengurangi ketergantungan mereka pada pasar Amerika. Selain itu, kebijakan unilateral seperti ini dinilai berpotensi menurunkan reputasi AS sebagai mitra dagang yang dapat diandalkan.
Kesimpulannya, kebijakan tarif Trump kali ini menunjukkan pola diplomasi ekonomi yang keras. Meskipun bertujuan melindungi kepentingan nasional, kebijakan ini juga menyisakan risiko besar bagi perekonomian Amerika sendiri dan stabilitas perdagangan global. Semua mata kini tertuju pada 1 Agustus, untuk melihat apakah negara-negara yang terkena ancaman tarif akan memilih negosiasi atau justru bersiap mengambil langkah balasan.