Negara termiskin membayar lobi politik tim Trump, barter mineral demi bantuan AS. Simak dampak ekonomi, geopolitik, dan risiko eksploitasi. Situasi geopolitik global mengalami babak baru ketika sejumlah negara termiskin di dunia kini terpaksa menempuh jalur lobi politik demi mendapatkan bantuan vital dari Amerika Serikat. Laporan investigasi terbaru yang dirilis oleh The Guardian mengungkap bagaimana negara-negara seperti Republik Demokratik Kongo (DRC), Somalia, Haiti, dan Yaman telah menggelontorkan jutaan dolar untuk membayar perusahaan lobi politik yang memiliki koneksi langsung dengan mantan Presiden AS, Donald Trump. Langkah ini diambil setelah kebijakan pemerintahan Trump yang memotong secara drastis dana bantuan luar negeri, termasuk dana USAID yang selama bertahun-tahun menjadi penyokong program kesehatan, pembangunan, hingga bantuan darurat bagi negara-negara miskin.
Investigasi menyebutkan bahwa dalam rentang waktu November 2024 hingga pertengahan 2025, kontrak lobi politik senilai total 17 juta dolar AS diteken oleh negara-negara miskin dengan konsultan politik yang pernah bekerja dekat dengan lingkaran Trump. Bukan hanya bertujuan membuka pintu Gedung Putih, kontrak-kontrak ini juga menargetkan dukungan kongres dan lembaga pertahanan AS agar aliran bantuan kembali pulih. Lebih mencengangkan lagi, beberapa negara bahkan bersedia menukar akses terhadap sumber daya mineral strategis mereka sebagai bagian dari kesepakatan tidak tertulis demi mendapatkan kepastian bantuan dari Amerika.
Daftar isi
lobi politik : Skema Barter Mineral dan Dampak Pemotongan Dana USAID
Pemotongan dana bantuan luar negeri oleh pemerintahan Trump memiliki efek domino yang sangat dirasakan oleh negara-negara miskin. Sebelumnya, USAID mendanai berbagai sektor mulai dari pengadaan obat-obatan, pembangunan infrastruktur, program pendidikan, hingga penanganan darurat krisis kemanusiaan. Namun sejak Januari 2025, kebijakan moratorium 90 hari yang diumumkan oleh Gedung Putih membekukan hampir seluruh program USAID. Meskipun kemudian ada pengecualian terbatas untuk pengadaan obat-obatan penting seperti ARV untuk HIV/AIDS, banyak lembaga layanan di lapangan terpaksa gulung tikar karena kehabisan dana operasional.
Akibat kekosongan pendanaan ini, negara-negara yang bergantung penuh pada dana bantuan luar negeri terpaksa mencari alternatif. Salah satu cara yang mereka tempuh adalah melalui diplomasi lobi politik, dengan menjanjikan akses terhadap sumber daya alam sebagai alat tawar. Republik Demokratik Kongo misalnya, disebut-sebut tengah menawarkan hak eksplorasi kobalt, tembaga, dan rare earth kepada perusahaan Amerika Serikat. Kobalt dan rare earth merupakan mineral vital untuk teknologi modern, seperti baterai mobil listrik, chip elektronik, hingga sistem persenjataan canggih. Langkah barter mineral ini menandai pola diplomasi transaksional di era baru politik AS.
Meski kesepakatan ini mungkin terlihat menguntungkan di permukaan, banyak pihak menilai skema barter mineral berpotensi menempatkan negara-negara miskin dalam posisi tawar yang sangat lemah. Risiko terbesar adalah kehilangan kedaulatan atas sumber daya alam strategis, padahal mineral-mineral tersebut menjadi tulang punggung masa depan ekonomi negara-negara tersebut. Selain itu, potensi eksploitasi sumber daya secara tidak berkelanjutan dikhawatirkan memicu konflik sosial dan kerusakan lingkungan yang lebih luas.
Risiko Eksploitasi dan Ketegangan Geopolitik
Keterlibatan tim lobi politik yang berafiliasi dengan Donald Trump dalam kesepakatan semacam ini menuai banyak kecaman dari berbagai organisasi pemantau independen. Global Witness, salah satu lembaga yang ikut melakukan investigasi, menilai praktik barter mineral untuk bantuan adalah bentuk neokolonialisme modern. Negara-negara termiskin, yang sudah berada di posisi lemah secara ekonomi dan politik, kini seakan dipaksa menjual sumber daya mereka demi bantuan yang seharusnya bersifat kemanusiaan.
Selain persoalan etika, skema barter mineral ini juga memiliki konsekuensi geopolitik yang tidak kecil. Amerika Serikat kini tampak lebih agresif dalam mengamankan pasokan mineral strategis, terutama untuk menyaingi dominasi Tiongkok yang selama ini mendominasi pasar global rare earth dan bahan tambang strategis lainnya. Persaingan antara AS dan Tiongkok di sektor sumber daya alam tidak hanya berdampak pada ekonomi global, tetapi juga meningkatkan ketegangan diplomasi di kawasan Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Negara-negara pemilik tambang besar pun terjebak dalam dilema: mempertahankan kedaulatan atas sumber daya mereka, atau mengalah demi menerima bantuan vital untuk menopang ekonomi dan stabilitas dalam negeri.
Baca Juga : Trump Resmi Teken UU Pemotongan Pajak dan Belanja pada 4 Juli
Para pakar pembangunan internasional mengingatkan bahwa model bantuan luar negeri yang bersifat transaksional akan memperlebar kesenjangan global. Negara miskin semakin sulit keluar dari lingkaran ketergantungan, sementara negara kuat semakin memperkokoh pengaruhnya melalui kendali ekonomi. Bantuan luar negeri seharusnya diberikan atas dasar solidaritas kemanusiaan, bukan sebagai alat barter kepentingan geopolitik.
Kesimpulannya, pemotongan drastis dana USAID telah memaksa negara-negara termiskin mencari jalan lain seperti lobi politik demi bertahan. Namun harga yang harus dibayar adalah potensi kehilangan kendali atas kekayaan alam mereka sendiri. Dunia kini menatap bagaimana AS, di bawah pengaruh politik baru, akan menentukan masa depan negara-negara miskin—apakah akan menjadi mitra sejajar, atau tetap menjadi objek kepentingan geopolitik global.