UNAIDS khawatir kriminalisasi LGBTQ+ dan pemotongan dana PEPFAR akan tingkatkan risiko HIV global. Baca analisis lengkap dampaknya di sini. Dunia menghadapi ancaman kemunduran besar dalam perang melawan HIV/AIDS. Badan PBB UNAIDS baru-baru ini mengeluarkan peringatan keras mengenai tingginya angka kriminalisasi terhadap kelompok berisiko tinggi, seperti komunitas LGBTQ+, pekerja seks, dan pengguna narkoba suntik. Situasi ini diperburuk oleh kebijakan pemerintahan Amerika Serikat yang menghentikan atau memangkas pendanaan program global pencegahan HIV, termasuk inisiatif besar PEPFAR (President’s Emergency Plan for AIDS Relief) yang selama dua dekade menjadi tulang punggung upaya melawan epidemi HIV di banyak negara berkembang.
Laporan terbaru UNAIDS menyoroti lonjakan undang-undang represif di berbagai negara yang semakin mengkriminalkan orientasi seksual, identitas gender, serta aktivitas terkait seks. Negara-negara di Afrika Sub-Sahara, Asia Tenggara, dan bahkan beberapa wilayah di Eropa Timur mengalami peningkatan tekanan hukum terhadap komunitas LGBTQ+. Kondisi ini menciptakan ketakutan di kalangan kelompok rentan, menghalangi mereka untuk mengakses layanan kesehatan seperti tes HIV, pengobatan, atau program pencegahan seperti PrEP (pre-exposure prophylaxis). UNAIDS menyatakan bahwa kriminalisasi ini secara langsung meningkatkan risiko penyebaran HIV karena individu enggan datang ke layanan kesehatan akibat takut akan ditangkap, diadili, atau dianiaya.
Di tengah situasi tersebut, kebijakan Pemerintah Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump yang membekukan sementara pendanaan untuk program kesehatan global, termasuk PEPFAR, telah memicu kepanikan di berbagai lembaga layanan HIV. Pada Januari 2025, pemerintahan Trump mengumumkan moratorium 90 hari atas hampir semua dana bantuan luar negeri yang dikelola USAID, termasuk dana HIV/AIDS. Meskipun kemudian diberikan pengecualian terbatas untuk pengadaan obat antiretroviral, banyak program komunitas di negara berkembang terpaksa ditutup sementara atau mengurangi layanan karena kekurangan dana operasional.
Daftar isi
Dampak Langsung Bagi Kelompok Berisiko Tinggi
Dampak kebijakan ini sudah mulai terlihat. Di Uganda, salah satu negara dengan undang-undang anti-LGBTQ+ yang sangat ketat, beberapa klinik khusus yang melayani komunitas LGBTQ+ harus tutup karena kehabisan dana. Layanan penting seperti distribusi PrEP, konseling, dan tes HIV yang tadinya rutin diberikan kini terhenti. Hal ini membuat kelompok yang paling rentan semakin terisolasi, memicu kekhawatiran akan ledakan kasus baru HIV yang sulit dikendalikan.
UNAIDS memperkirakan penghentian atau pengurangan dana PEPFAR bisa menyebabkan hingga 2.300 infeksi HIV baru setiap hari secara global. Angka ini tentu sangat memprihatinkan, mengingat PEPFAR sejak diluncurkan pada 2003 telah menyelamatkan lebih dari 25 juta jiwa di seluruh dunia. Laporan lembaga tersebut juga menyinggung bagaimana penurunan pendanaan berdampak langsung pada komunitas LGBTQ+, yang kerap menjadi kelompok pertama yang kehilangan akses layanan ketika anggaran dipotong.
Selain aspek kesehatan, kebijakan kriminalisasi juga menciptakan efek domino sosial yang sangat negatif. Diskriminasi, kekerasan, dan pengucilan sosial semakin marak, membuat kelompok rentan sulit mempertahankan pekerjaan, tempat tinggal, atau keamanan hidup sehari-hari. Tidak sedikit aktivis hak asasi manusia yang mendesak pemerintah negara-negara donor, termasuk Amerika Serikat, untuk meninjau kembali kebijakan mereka agar tidak mematikan layanan vital yang telah dibangun selama puluhan tahun.
Dunia Terancam Kehilangan Kemajuan Perang Melawan HIV/AIDS
Target global UNAIDS untuk tahun 2025 adalah mencapai 95% populasi berisiko tinggi mendapatkan layanan pencegahan dan pengobatan HIV. Namun dengan kondisi kriminalisasi yang semakin parah dan potensi kekurangan dana, target ini dinilai semakin sulit dicapai. Laporan The Guardian menyebutkan bahwa banyak organisasi lokal kini menggantungkan harapan pada donasi individual dan lembaga filantropi, tetapi jumlah dana yang terkumpul masih jauh dari cukup untuk menutup celah yang ditinggalkan oleh pendanaan pemerintah.
Pakar kesehatan global, termasuk sejumlah pejabat WHO, telah mengingatkan bahwa HIV bukan hanya isu kesehatan tetapi juga masalah hak asasi manusia. Ketika kelompok tertentu dikriminalisasi, bukan hanya mereka yang terancam, tetapi juga stabilitas kesehatan publik secara keseluruhan. Virus tidak memilih orientasi seksual atau identitas gender. Membatasi akses ke layanan kesehatan karena alasan kebijakan politik atau moral hanya akan memperburuk epidemi.
Sementara itu, beberapa negara donor Eropa, termasuk Jerman dan Belanda, menyatakan akan berusaha meningkatkan kontribusi mereka ke dana global HIV/AIDS. Namun, skala kebutuhan masih terlalu besar. Tanpa komitmen serius dari Amerika Serikat, celah pendanaan tetap menganga.
Baca juga : Trump Janji Pertanggungjawaban Atas Jaksa dan Agen FBI yang Menyidiknya
Lelang tas Hermès Birkin mungkin mendominasi berita mode dunia, tetapi di sisi lain, krisis kesehatan global yang mematikan ini berlangsung diam-diam, mengancam jutaan jiwa yang tidak bersuara. Dunia internasional kini dituntut untuk bersikap cepat dan tegas, bukan hanya untuk menyelamatkan program HIV, tetapi juga melindungi hak asasi manusia kelompok yang paling rentan.
Kesimpulannya, dunia menghadapi persimpangan kritis: mempertahankan kemajuan puluhan tahun memerangi HIV/AIDS, atau membiarkan diskriminasi dan kekurangan dana membawa epidemi kembali ke masa kelam. UNAIDS dengan lantang memperingatkan bahwa waktu hampir habis.