Larangan Masuk AS kembali diperketat setelah Presiden Donald Trump mengeluarkan proklamasi baru yang memperluas pembatasan bagi warga dari sejumlah negara. Kebijakan ini diklaim untuk melindungi keamanan nasional melalui pengetatan pemeriksaan dan pembatasan penerbitan visa pada kategori tertentu. Proklamasi tersebut ditetapkan pada 16 Desember 2025 dan dijadwalkan mulai berlaku pada 1 Januari 2026 pukul 00.01 waktu setempat. Pemerintah AS menekankan penerapan utamanya menyasar warga asing yang berada di luar negeri pada tanggal efektif dan belum memiliki visa yang masih berlaku.
Dalam dokumen pendukung, alasan pembatasan dikaitkan dengan masalah screening dan pertukaran data, isu overstay, hingga kerja sama pemulangan deportan. Kebijakan itu menambah daftar negara yang terkena pembatasan penuh dan juga memperluas pembatasan parsial pada kategori visa tertentu seperti B1/B2, F/M/J, serta sebagian visa imigran. Larangan Masuk AS ini langsung menjadi sorotan global karena berpotensi memengaruhi arus pelajar internasional, perjalanan bisnis, serta mobilitas keluarga yang mengurus visa. Sejumlah negara dan organisasi memantau dampaknya terhadap prinsip nondiskriminasi dan akses perjalanan.
Larangan Masuk AS diperketat lewat proklamasi 16 Desember 2025, berlaku 1 Jan 2026. Ada pembatasan penuh dan parsial, dengan sejumlah pengecualian. Meski ketat, proklamasi memuat sejumlah pengecualian, termasuk bagi pemegang green card, warga dengan kewarganegaraan ganda yang memakai paspor negara yang tidak dibatasi, serta kategori visa diplomatik tertentu. Pemerintah AS juga membuka ruang pengecualian berbasis kepentingan nasional secara kasus per kasus. Dengan cakupan luas dan detail teknis yang kompleks, Larangan Masuk AS diperkirakan memicu perdebatan berkelanjutan, baik di pengadilan maupun di forum diplomatik.
Daftar isi
Pembatasan Penuh dan Parsial serta Negara yang Terdampak
Dalam proklamasi terbaru, pemerintah AS membagi kebijakan menjadi pembatasan penuh dan pembatasan parsial. Pembatasan penuh diberlakukan untuk 19 negara, termasuk penambahan beberapa negara baru yang sebelumnya tidak masuk daftar, serta individu yang menggunakan dokumen perjalanan yang diterbitkan atau diendorse oleh Otoritas Palestina. Di kelompok tambahan pembatasan penuh, tercantum Burkina Faso, Laos, Mali, Niger, Sierra Leone, South Sudan, dan Syria. Pemerintah AS menyebut kategori ini menutup akses masuk untuk mayoritas visa, sehingga jalurnya hanya tersisa melalui pengecualian yang diatur ketat.
Untuk pembatasan parsial, proklamasi menambah 15 negara ke daftar, sekaligus melanjutkan pembatasan parsial bagi negara yang sudah lebih dulu berada dalam rezim serupa. Departemen Luar Negeri AS menyebut penangguhan parsial penerbitan visa pada kategori tertentu, antara lain visa kunjungan B1/B2, visa pelajar dan pertukaran F/M/J, serta beberapa visa imigran, dengan perlakuan berbeda untuk Turkmenistan yang disebut lebih terbatas. Dalam skema ini, Larangan Masuk AS bukan hanya soal pintu masuk di bandara, melainkan juga pengetatan proses visa sejak tahap aplikasi di perwakilan diplomatik.
Pemerintah AS menekankan kebijakan ini juga dipengaruhi oleh kualitas kerja sama pertukaran informasi, ketepatan verifikasi identitas, serta data keamanan yang dapat dibagikan negara asal. Isu overstay dan kepatuhan imigrasi menjadi indikator lain yang dipakai untuk menilai apakah sebuah negara masuk dalam daftar pembatasan. Sejumlah analis menilai perluasan daftar dapat memicu respons diplomatik, karena negara yang terdampak bisa melihatnya sebagai cap negatif. Dalam konteks ini, Larangan Masuk AS dinilai membawa konsekuensi politik sekaligus teknis, dari birokrasi visa hingga relasi bilateral.
Mulai Berlaku 1 Januari 2026 dan Siapa yang Dikecualikan
Kebijakan ini dijadwalkan berlaku mulai 1 Januari 2026 pukul 00.01 waktu setempat, dengan prinsip penerapan yang menekankan status pemohon pada tanggal efektif. Pemerintah AS menyebut larangan terutama berlaku bagi individu yang berada di luar Amerika Serikat pada saat mulai berlaku dan tidak memiliki visa yang masih berlaku. Sementara itu, visa yang telah diterbitkan sebelum 1 Januari 2026 tidak otomatis dicabut hanya karena proklamasi, sehingga status pemegang visa lama lebih bergantung pada aturan masuk di pelabuhan kedatangan dan penilaian petugas imigrasi. Detail ini menjadi penting karena banyak pemohon visa berada di tengah proses administrasi pada akhir tahun.
Larangan Masuk AS diperketat lewat proklamasi 16 Desember 2025, berlaku 1 Jan 2026. Ada pembatasan penuh dan parsial, dengan sejumlah pengecualian. Proklamasi juga memuat daftar pengecualian yang cukup luas, meski penerapannya bisa sangat ketat. Pengecualian mencakup pemegang status penduduk tetap sah atau green card, warga negara ganda yang masuk menggunakan paspor negara yang tidak dibatasi, serta kategori visa diplomatik tertentu. Ada pula pengecualian untuk atlet dan delegasi dalam event besar, serta kebijakan penilaian kepentingan nasional yang dapat dipakai untuk kasus tertentu. Dengan demikian, Larangan Masuk AS tidak berlaku secara seragam, tetapi bergantung pada kombinasi kewarganegaraan, jenis visa, status dokumen, dan alasan perjalanan.
Bagi pelajar dan program pertukaran, pembatasan pada kategori F/M/J berpotensi memicu kebingungan karena universitas harus mengatur ulang jadwal kedatangan dan proses penerbitan dokumen. Perusahaan multinasional juga memantau dampaknya pada mobilitas pekerja dan perjalanan bisnis, terutama pada sektor yang membutuhkan pertemuan lintas negara. Di sisi keluarga, pembatasan visa imigran dapat memperpanjang masa tunggu dan menambah biaya administrasi. Dalam situasi ini, Larangan Masuk AS diperkirakan memicu lonjakan pertanyaan di kantor imigrasi, pengacara, serta lembaga pendidikan internasional yang menangani pendaftaran.
Ketegangan Global dan Dampak ke Mobilitas Internasional
Perluasan kebijakan ini menimbulkan ketegangan karena isu larangan perjalanan sering dibaca sebagai indikator arah politik imigrasi Washington. Sejumlah pihak menilai kebijakan yang menargetkan negara tertentu dapat memunculkan persepsi diskriminatif, sementara pendukungnya menekankan hak negara untuk mengatur pintu masuk berdasarkan penilaian keamanan. Pemerintah AS menautkan kebijakan pada kebutuhan memperkuat screening, memperbaiki pertukaran data, dan mengurangi risiko masuknya individu yang tidak terverifikasi.
Namun, kritik muncul karena pembatasan luas dapat berdampak pada warga yang tidak terkait ancaman, termasuk pelajar, peneliti, dan pekerja yang sebelumnya mengikuti prosedur legal. Secara ekonomi, pembatasan visa dapat memengaruhi penerimaan universitas, industri pariwisata, serta perjalanan bisnis. Pelaku usaha menilai ketidakpastian kebijakan imigrasi bisa mengganggu perencanaan konferensi, kontrak, dan pemindahan tenaga ahli.
Baca juga : Serangan AS ISIS Nigeria Di Sokoto Klaim Trump Malam Natal
Di sisi lain, pemerintah AS mendorong jalur pengecualian kepentingan nasional agar sektor strategis tetap dapat berjalan, tetapi jalur ini sering memerlukan pembuktian yang panjang. Dalam beberapa kasus, Larangan Masuk AS juga dapat memicu langkah balasan diplomatik atau penyesuaian kebijakan visa oleh negara yang terdampak, meski respons ini tidak selalu bersifat simetris. Dari perspektif hubungan internasional, kebijakan ini berpotensi memicu debat di forum multilateral soal standar keamanan, pertukaran data, dan penanganan migrasi.
Negara yang terdampak dapat didorong meningkatkan kerja sama verifikasi identitas atau memperkuat dokumen perjalanan agar keluar dari daftar pembatasan. Namun, prosesnya kerap lambat karena menyangkut reformasi birokrasi, kapasitas teknologi, dan perjanjian pertukaran informasi. Dalam jangka pendek, Larangan Masuk AS diperkirakan menambah beban administratif, menciptakan antrean baru di layanan konsuler, dan memperpanjang ketidakpastian bagi jutaan orang yang merencanakan perjalanan, studi, atau reuni keluarga pada 2026.
