Operasi Southern Spear menjadi sorotan setelah rangkaian serangan mematikan Amerika Serikat terhadap kapal-kapal yang dituduh terkait penyelundupan narkoba di kawasan Karibia dan Pasifik Timur. Sejumlah laporan menyebut total korban tewas dari rangkaian aksi hingga pertengahan Desember 2025 mencapai angka puluhan dan sempat dikaitkan dengan klaim “99 tewas” di berbagai pemberitaan. Washington menyatakan operasi ini adalah misi kontra “narko-terorisme” dan bagian dari perlindungan keamanan, namun kritik muncul karena penggunaan kekuatan mematikan di laut biasanya identik dengan penegakan hukum maritim yang lebih ketat pada prosedur penangkapan.
Dalam pernyataan resminya, Komando Selatan AS menegaskan pihaknya melakukan lethal kinetic strikes terhadap target tertentu, termasuk dua kapal pada 18 Desember yang dilaporkan menewaskan lima pria. Reuters juga melaporkan serangan di Pasifik Timur yang menewaskan empat orang dalam rangkaian operasi yang sama. Operasi Southern Spear kemudian memicu perdebatan soal bukti yang digunakan untuk melabeli target sebagai “narco-terrorists”, prosedur identifikasi di lapangan, serta mekanisme akuntabilitas ketika operasi berlangsung jauh dari pantai.
Isu ini juga terjadi pada saat hubungan AS dengan Venezuela menegang karena sanksi dan pengetatan penindakan di laut terhadap aktivitas tanker. Sejumlah analis menilai dinamika ini membuat kawasan semakin sensitif, karena operasi anti-narkoba dapat dibaca sebagai tekanan geopolitik, bukan semata penegakan hukum. Operasi Southern Spear dinilai perlu dijelaskan secara transparan agar tidak memicu salah persepsi dan memperlebar risiko benturan antaraktor di wilayah perairan internasional.
Daftar isi
Klaim Korban dan Detail Serangan di Pasifik Timur
Sorotan publik menguat ketika angka korban disebut menanjak dan beberapa laporan merangkum total korban tewas dalam rangkaian serangan mematikan hingga mencapai puluhan, yang kemudian dikaitkan dengan klaim “99 tewas” pada titik waktu tertentu. Namun, rincian korban muncul dari akumulasi berbagai insiden dalam periode operasi, sehingga angka yang beredar bergantung pada metode perhitungan dan pembaruan data. Pada 18 Desember 2025, Komando Selatan AS menyatakan pihaknya melakukan serangan mematikan pada dua kapal di Pasifik Timur, menewaskan lima orang di kedua kapal tersebut. Operasi Southern Spear menempatkan serangan ini sebagai bagian dari strategi menekan jaringan penyelundupan di rute laut yang dianggap rawan.
Reuters melaporkan salah satu serangan di wilayah yang sama menewaskan empat pria, memperlihatkan bagaimana operasi ini menjadi headline karena intensitas penggunaan daya tembak. Peristiwa-peristiwa tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai proses verifikasi target, termasuk bagaimana identifikasi dilakukan terhadap kapal dan awaknya di tengah kondisi laut, jarak pandang, serta keterbatasan komunikasi. Operasi Southern Spear juga dinilai mengubah karakter penindakan anti-narkoba yang sebelumnya lebih sering berujung pada pengejaran, penghentian kapal, penangkapan, dan proses hukum.
Di sisi lain, otoritas AS menyatakan penggunaan kekuatan mematikan dilakukan berdasarkan penilaian ancaman dan aturan pelibatan. Namun, kritik datang dari pihak yang menilai standar pembuktian harus lebih ketat karena konsekuensi nyawa sangat besar. Karena lokasi operasi jauh dari pusat pengawasan publik, banyak pihak meminta transparansi lebih rinci soal alasan target dinilai membahayakan dan mengapa opsi penangkapan tidak digunakan. Operasi Southern Spear pun memunculkan tuntutan agar ada audit independen yang menilai kesesuaian tindakan dengan hukum internasional dan prosedur domestik.
Debat Legalitas dan Pergeseran dari Penegakan Hukum Maritim
Poin paling diperdebatkan adalah apakah pendekatan militer mematikan tepat untuk misi yang selama ini dikenal sebagai penegakan hukum maritim. Dalam praktik lama, Coast Guard dan mitra internasional sering menahan kapal, menyita muatan, dan membawa tersangka ke proses peradilan. Kritik menilai Operasi Southern Spear menciptakan pergeseran paradigma dari penegakan hukum menjadi aksi tempur, sehingga risiko salah sasaran dan eskalasi meningkat. Pertanyaan lain adalah bagaimana label “narco-terrorists” dibuktikan di lapangan, serta apakah ada mekanisme banding atau verifikasi lintas lembaga sebelum serangan diluncurkan.
Sebagian analis menilai kebijakan ini dipengaruhi narasi keamanan yang lebih luas, termasuk tekanan politik domestik dan keinginan menunjukkan ketegasan. Namun pihak pendukung menyebut jaringan penyelundupan memiliki kemampuan senjata dan taktik berbahaya, sehingga respons keras dianggap perlu untuk melindungi personel dan memutus rantai pasok. Operasi Southern Spear pada akhirnya berada di tengah tarik-menarik antara kebutuhan keamanan dan prinsip kehati-hatian, terutama ketika operasi dilakukan di area laut yang padat rute perdagangan.
Di kawasan, kekhawatiran muncul karena operasi mematikan bisa memicu reaksi balasan atau salah hitung antaraktor, apalagi ketika beririsan dengan isu sanksi dan penindakan terhadap tanker. Beberapa pengamat mengingatkan bahwa eskalasi di laut mudah meluas karena komunikasi terbatas dan keputusan dibuat dalam hitungan menit. Operasi Southern Spear dinilai memerlukan pedoman transparan mengenai aturan pelibatan, pelaporan pascainsiden, dan peran lembaga penegak hukum agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan. Tanpa kejelasan, risiko delegitimasi operasi meningkat dan dukungan internasional dapat melemah.
Dampak Regional dan Risiko Eskalasi Politik
Operasi ini berlangsung pada saat stabilitas kawasan Amerika Latin dan Karibia sensitif, terutama karena hubungan AS dengan sejumlah negara di kawasan tidak selalu harmonis. Ketika tindakan militer mematikan terjadi di laut, narasi geopolitik mudah muncul, termasuk tudingan bahwa operasi anti-narkoba dipakai sebagai alat tekanan politik. Operasi Southern Spear makin menjadi sorotan karena berdekatan dengan ketegangan AS–Venezuela, termasuk isu tanker dan penegakan sanksi yang memicu kekhawatiran eskalasi lebih lanjut.
Negara-negara kawasan juga khawatir dampak ekonomi bila rute pelayaran terganggu atau asuransi maritim naik karena risiko keamanan. Dari perspektif kemanusiaan, penggunaan kekuatan mematikan di laut menimbulkan pertanyaan tentang perlindungan awak kapal yang bisa berasal dari berbagai latar belakang, termasuk pekerja yang tidak selalu memahami jaringan kriminal. Pengawasan yang ketat dibutuhkan agar operasi tidak menimbulkan korban sipil dan tidak mengundang radikalisasi atau pembalasan.
Baca juga : Strategi Pertahanan Venezuela Hadapi Amerika Serikat
Operasi Southern Spear juga mendorong tuntutan agar ada mekanisme transparansi publik, misalnya ringkasan insiden, dasar intelijen yang bisa dipublikasikan, serta evaluasi pascaoperasi yang kredibel. Ke depan, banyak pihak menilai kunci pengendalian risiko adalah memperkuat kerja sama multilateral, memperjelas peran lembaga penegak hukum, dan memastikan jalur diplomasi tetap terbuka agar operasi keamanan tidak dibaca sebagai ancaman geopolitik.
Tanpa langkah itu, kampanye di laut berpotensi memperlebar ketegangan dan memicu salah persepsi di kawasan yang sudah rentan. Operasi Southern Spear akan terus diawasi karena menjadi contoh bagaimana kebijakan anti-narkoba dapat bertransformasi menjadi operasi militer dengan konsekuensi strategis. Jika akuntabilitas diperkuat, risiko eskalasi bisa ditekan dan kerja sama regional dapat tetap terjaga.
