Serangan Balasan AS Suriah digelar pada 19 Desember 2025 setelah serangan di sekitar Palmyra dilaporkan menewaskan dua tentara Amerika Serikat dan seorang penerjemah sipil. Operasi tersebut disebut menargetkan jaringan ISIS di wilayah Suriah bagian tengah, dengan sasaran puluhan titik yang dipandang terkait markas, persenjataan, dan logistik kelompok itu. Pernyataan pejabat pertahanan menekankan serangan dilakukan sebagai respons langsung, bukan pembukaan perang baru, meski skalanya dinilai lebih besar dibanding operasi rutin sebelumnya.
Dalam laporan media internasional, serangan balasan melibatkan kombinasi pesawat tempur dan sistem roket jarak jauh, dengan dukungan helikopter serbu di area tertentu. Sejumlah lokasi yang disebut menjadi sasaran berada di sekitar Palmyra hingga area lain yang pernah menjadi jalur pergerakan ISIS. Pemerintah AS menyatakan target dipilih untuk menekan kemampuan kelompok tersebut merencanakan serangan lanjutan terhadap pasukan koalisi dan mitra lokal. Serangan Balasan AS Suriah ini juga dibingkai sebagai pesan pencegahan bahwa serangan terhadap personel Amerika akan dibalas cepat.
Di lapangan, situasi keamanan di kawasan gurun Suriah dikenal dinamis karena sisa-sisa jaringan ISIS masih bergerak dalam sel kecil. Operasi besar seperti ini biasanya diikuti peningkatan patroli, pengumpulan intelijen, dan pemeriksaan rute logistik yang kerap dipakai kelompok bersenjata. Serangan Balasan AS Suriah memicu perhatian kawasan karena terjadi di tengah tensi regional yang masih sensitif, dengan berbagai aktor bersenjata dan kepentingan negara beririsan di Suriah. Risiko salah kalkulasi dan dampak kemanusiaan menjadi perhatian, terutama jika pertempuran meluas.
Daftar isi
Kronologi Insiden Palmyra dan Alasan Retaliasi
Serangan yang memicu retaliasi dilaporkan terjadi di dekat Palmyra, wilayah strategis di Suriah tengah yang dikenal menjadi persimpangan rute gurun. Serangan itu menewaskan dua tentara AS dan seorang penerjemah sipil, serta melukai personel lain, menurut laporan berbagai media. Meski detail teknis serangan awal tidak dijelaskan sepenuhnya ke publik, sumber-sumber yang dikutip media menyebut penyerang terkait ISIS dan memanfaatkan wilayah gurun yang sulit diawasi. Peristiwa ini mendorong Washington menilai ancaman ISIS masih nyata dan membutuhkan respons yang lebih keras.
Dalam narasi resmi, retaliasi dibingkai sebagai tindakan untuk melumpuhkan kemampuan ISIS melakukan serangan berikutnya. Serangan Balasan AS Suriah dilaporkan menargetkan puluhan hingga lebih dari 70 titik, dengan sasaran yang disebut mencakup fasilitas, tempat persenjataan, titik komando, dan posisi tempur. Pemilihan target dalam operasi semacam ini biasanya berbasis intelijen multi-sumber, termasuk pengintaian udara, sinyal komunikasi, dan informasi mitra di darat. Karena itu, AS menekankan targetnya adalah infrastruktur militan, bukan fasilitas sipil, meski risiko kesalahan tetap selalu menjadi sorotan.
Di level politik, Presiden AS menyampaikan pernyataan bahwa serangan dilakukan sebagai pembalasan yang serius. Pernyataan tersebut memperkuat pesan deterrence dan menegaskan garis merah terkait keselamatan personel AS yang bertugas di Suriah. Namun, di mata pengamat, Serangan Balasan AS Suriah juga menciptakan tuntutan publik agar pemerintah menjelaskan strategi jangka panjang di Suriah, termasuk tujuan, ukuran keberhasilan, dan cara mencegah ISIS bangkit kembali. Di tengah ketidakpastian regional, setiap eskalasi besar menuntut komunikasi yang hati-hati agar tidak memicu konflik melebar dengan aktor lain yang berada di wilayah yang sama.
Skala Operasi dan Peran Jet Tempur hingga HIMARS
Laporan media menyebut operasi balasan melibatkan pesawat tempur seperti F-15 dan A-10, helikopter Apache, serta sistem roket HIMARS. Kombinasi ini menunjukkan serangan dilakukan dengan pola “multi-platform” untuk menghantam target bergerak dan target statis sekaligus. A-10 dan Apache kerap digunakan untuk mendukung serangan presisi di area tertentu, sementara HIMARS memberi kemampuan menembak cepat dari jarak jauh dengan waktu respons singkat. Serangan Balasan AS Suriah dengan komposisi aset seperti ini menunjukkan operasi dirancang untuk menekan berbagai lapisan jaringan, dari gudang hingga titik peluncuran serangan.
Sejumlah laporan menyebut penggunaan lebih dari 100 amunisi presisi dalam satu rangkaian operasi, menggambarkan intensitas yang tinggi. Dalam operasi udara, presisi menjadi unsur penting untuk mengurangi risiko korban sipil, namun tetap memerlukan verifikasi target yang kuat dan pembaruan intelijen secara real time. Media juga melaporkan target tersebar di beberapa wilayah, termasuk sekitar Palmyra dan area lain yang pernah menjadi kantong ISIS. Pada kondisi medan gurun, sasaran bisa berpindah cepat, sehingga koordinasi udara dan darat menjadi kunci untuk menghindari tembakan salah sasaran dan menjaga keselamatan pasukan di wilayah.
Di sisi lain, operasi skala besar biasanya berdampak pada pola patroli di darat dan posisi pasukan koalisi. AS masih menempatkan sekitar seribu personel di Suriah menurut laporan media, terutama untuk mendukung misi kontra-ISIS dan bekerja sama dengan mitra lokal. Serangan Balasan AS Suriah kemungkinan diikuti pengetatan prosedur keamanan, pergeseran rute, dan penambahan pengawasan di sekitar titik-titik rawan. Pengamat menilai target operasi bukan hanya menghukum pelaku serangan, tetapi juga merusak kemampuan ISIS berkoordinasi, merekrut, dan bergerak lintas wilayah.
Dampak Kawasan dan Risiko Eskalasi Berikutnya
Serangan skala besar memiliki dampak psikologis terhadap jaringan militan, tetapi juga berpotensi memicu rangkaian aksi balasan. ISIS dikenal mampu beradaptasi dengan beralih ke sel kecil dan taktik serangan mendadak, sehingga operasi udara saja sering dianggap tidak cukup tanpa stabilisasi di darat. Serangan Balasan AS Suriah bisa menekan kapasitas jangka pendek, namun tantangan yang lebih besar adalah mencegah ISIS memanfaatkan ruang kosong keamanan di wilayah gurun dan daerah perbatasan.
Karena itu, kerja sama intelijen, kontrol rute logistik, dan penguatan mitra lokal menjadi faktor yang menentukan hasil jangka panjang.Di kawasan, eskalasi AS di Suriah juga dipantau negara-negara yang punya kepentingan langsung, karena Suriah menjadi simpul konflik yang melibatkan banyak aktor. Setiap peningkatan operasi AS berpotensi bersinggungan dengan pergerakan milisi lain, jalur suplai, dan kepentingan negara yang beroperasi di wilayah yang sama. Risiko salah kalkulasi muncul jika ada target yang berdekatan dengan aset pihak lain, atau jika operasi memicu respons politik dari aktor regional.
Baca juga : Trump Balas ISIS Tegas Usai Tentara AS Tewas di Suriah
Karena itu, Serangan Balasan AS Suriah sering diikuti komunikasi deconfliction untuk mencegah insiden antar-militer, meski detail komunikasi ini jarang dipublikasikan.Di sisi kemanusiaan, serangan udara besar-besaran kerap menimbulkan kekhawatiran dampak pada warga sipil, termasuk perpindahan penduduk, terganggunya akses bantuan, dan meningkatnya ketakutan di komunitas lokal. Pemerintah AS menekankan penggunaan amunisi presisi, namun lembaga kemanusiaan biasanya meminta penilaian kerusakan dan laporan transparan jika ada korban sipil.
Serangan Balasan AS Suriah digelar besar-besaran menarget ISIS usai serangan dekat Palmyra, melibatkan jet tempur dan HIMARS, memicu eskalasi operasi. Dalam beberapa hari ke depan, perhatian publik akan tertuju pada apakah ISIS melakukan serangan balasan, apakah operasi berlanjut menjadi kampanye lebih panjang, dan bagaimana AS mengukur keberhasilan. Serangan Balasan AS Suriah menjadi penanda bahwa operasi kontra-ISIS belum selesai, dan stabilitas di Suriah masih rapuh meski konflik besar telah mereda di beberapa front.
