Veto Gaza AS kembali menyita perhatian dunia setelah Amerika Serikat menggunakan hak veto PBB untuk menggagalkan resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata segera di Gaza. Draf yang diajukan mayoritas anggota menekankan penghentian kekerasan, pembebasan sandera, dan akses kemanusiaan tanpa hambatan. Namun, keputusan tunggal Washington membuat resolusi gugur meski 14 anggota lain mendukung.
Perdebatan pun memanas. Pemerintah AS beralasan teks resolusi belum memuat jaminan keamanan Israel yang memadai dan dinilai berpotensi memperkuat posisi Hamas. Para pendukung resolusi menilai argumen itu tak sebanding dengan urgensi krisis kemanusiaan. Di tengah tarik-menarik kepentingan, Veto Gaza AS berubah menjadi indikator polarisasi geopolitik dan ujian efektivitas lembaga internasional dalam menangani konflik berkepanjangan.
Daftar isi
Isi Resolusi, Posisi Washington, dan Dinamika Pemungutan Suara
Draf resolusi terbaru memuat tiga pilar: penghentian permusuhan segera dan berkelanjutan, pembebasan seluruh sandera tanpa syarat, serta penghapusan hambatan terhadap penyaluran bantuan. Perumusan kalimatnya menekankan hukum humaniter internasional dan perlindungan warga sipil. Dalam proses lobi, sejumlah negara mendorong bahasa yang lebih tegas terhadap kelompok bersenjata sekaligus menjaga ruang negosiasi politik. Namun ketika palu pemungutan suara diketuk, Veto Gaza AS menjegal upaya itu.
Washington menyatakan beberapa keberatan. Pertama, frasa gencatan senjata dinilai tidak meng-address ancaman roket dan jaringan militer Hamas. Kedua, AS menghendaki redaksi yang secara eksplisit menekankan hak pertahanan diri Israel serta mekanisme verifikasi agar setiap jeda tembak tidak dimanfaatkan untuk rearmament. Ketiga, pihak Gedung Putih menekankan jalur diplomasi paralel yang sedang dibangun bersama mitra regional. Kendati demikian, mayoritas anggota memandang krisis kemanusiaan sudah melampaui ambang toleransi sehingga tindakan Dewan dibutuhkan sekarang, bukan “nanti”. Hasilnya: draf kandas, dan Veto Gaza AS menorehkan catatan baru dalam daftar kebuntuan Dewan Keamanan.
Secara prosedural, satu veto cukup untuk membatalkan resolusi. Inilah yang kembali memantik debat tentang reformasi tata kelola DK PBB—mulai dari pembatasan penggunaan veto pada isu kemanusiaan hingga mekanisme override melalui Majelis Umum. Apapun jalur yang ditempuh, Veto Gaza AS mendorong lahirnya opsi-opsi alternatif di luar forum Dewan.
Reaksi Global, Dampak Kemanusiaan, dan Isu Hukum
Respons internasional datang berlapis. Negara-negara pendukung resolusi mengecam keras Veto Gaza AS, menyebutnya menggerus legitimasi sistem multilateral. Negara Arab dan Organisasi Kerja Sama Islam menilai kegagalan Dewan memperpanjang penderitaan warga sipil. Sejumlah sekutu Barat mengekspresikan “kekecewaan mendalam” seraya menegaskan komitmen pada solusi dua negara. Di sisi lain, Israel menyambut langkah AS sebagai dukungan terhadap kebutuhan keamanan dan ruang operasi militer yang dianggap masih perlu.
Di lapangan, konsekuensi paling nyata adalah krisis kemanusiaan berkelanjutan. Tanpa mandat kuat Dewan, upaya membuka koridor bantuan bergantung pada kesepakatan teknis yang rapuh. Laporan lembaga kemanusiaan menggambarkan antrean logistik menumpuk, rumah sakit kekurangan listrik dan obat, serta risiko gizi buruk meningkat di kamp-kamp pengungsian. Dalam kerangka hukum, perdebatan meruncing pada prinsip proporsionalitas, perlindungan non-kombatan, dan kewajiban semua pihak memfasilitasi bantuan. Para pakar menilai, sekalipun resolusi kandas, norma hukum humaniter tetap mengikat semua aktor.
Kegagalan mengesahkan resolusi juga memantik jalur alternatif: rancangan resolusi Majelis Umum, joint statement lintas kawasan, hingga sanksi atau embargo bersyarat dari sejumlah parlemen nasional. Namun, tanpa konsensus di Dewan, efektivitas kebijakan tersebut terbatas. Karena itu, Veto Gaza AS sekaligus menjadi pemicu konsolidasi diplomasi publik—tekanan moral internasional yang mencoba mengisi kekosongan mandat formal.
Tiga skenario besar membayangi. Pertama, repackaging naskah: negara pengusul merombak redaksi untuk mengakomodasi kekhawatiran Washington—misalnya menambahkan klausul pelepasan sandera bertahap, verifikasi jeda tembak, dan jaminan keamanan perbatasan. Jika kompromi tercapai, peluang meloloskan resolusi baru terbuka. Kedua, jalur Majelis Umum: dukungan mayoritas simbolik diteguhkan lewat resolusi tidak mengikat, lalu diterjemahkan menjadi komitmen pendanaan dan pengiriman bantuan. Ketiga, status quo: operasi militer berlanjut, sementara mediasi regional fokus pada deal teknis (pertukaran sandera, jeda kemanusiaan terbatas). Dalam ketiga opsi itu, Veto Gaza AS tetap menjadi variabel penentu ritme diplomasi.
Konsekuensi politik bagi AS tidak ringan. Di dalam negeri, kelompok HAM, komunitas keagamaan, dan sebagian legislator menuntut garis kebijakan yang lebih humaniter. Di luar negeri, kredibilitas Washington sebagai promotor tatanan berbasis aturan diuji. Analis menyebut, untuk meredam dampak reputasi, AS perlu menunjukkan hasil konkret di meja perundingan: jeda kemanusiaan yang benar-benar menurunkan korban, arus bantuan yang meningkat, dan roadmap politik yang terlihat. Tanpa itu, Veto Gaza AS akan dibaca sebagai pelindung politik, bukan jembatan menuju resolusi.
Baca juga : Janji Kosong Amerika Di Sidang Umum PBB
Bagi kawasan, kalkulus keamanan berubah. Jika eskalasi berlanjut, risiko rambatan ke Lebanon, Suriah, atau Laut Merah tetap tinggi—mendorong koalisi maritim dan pengetatan rute pelayaran. Harga minyak dan premi asuransi bisa terdorong naik bila jalur energi terancam. Negara-negara regional memprioritaskan stabilitas domestik, memperkuat pertahanan udara, dan memperbanyak latihan gabungan untuk mencegah salah hitung. Di sisi kemanusiaan, lembaga donor menyiapkan surge funding untuk musim dingin dan kebutuhan sanitasi. Dalam semua skenario itu, Veto Gaza AS menjadi penanda bahwa solusi jangka pendek menuntut kreativitas diplomatik, sementara solusi jangka panjang tetap kembali pada rekonsiliasi politik dan jaminan keamanan yang dapat diterima semua pihak.
Kesimpulannya, kebuntuan di Dewan Keamanan bukan akhir dari upaya perdamaian—tetapi peringatan keras bahwa diplomasi konvensional sedang kehabisan amunisi. Jalan keluar menuntut kombinasi dorongan moral internasional, rekayasa kebijakan yang bisa diverifikasi, dan komitmen menghormati hukum humaniter tanpa syarat. Sampai formula itu ditemukan, Veto Gaza AS akan terus menjadi headline, sekaligus cermin rapuhnya arsitektur keamanan global dalam menghadapi krisis kemanusiaan paling mendesak di kawasan.