Penolakan AS Mikronesia terhadap deklarasi dua negara PBB memicu kontroversi global, meski 142 negara mendukung solusi Palestina-Israel. Dunia internasional kembali menyaksikan dinamika diplomasi yang sarat kontroversi setelah Majelis Umum PBB mengesahkan deklarasi dua negara terkait konflik Palestina-Israel. Resolusi sepanjang tujuh halaman ini diinisiasi oleh Arab Saudi dan Prancis, berisi agenda gencatan senjata permanen di Gaza, pembebasan sandera, pertukaran tahanan, hingga pembentukan komite transisi dan misi stabilisasi PBB.
Sebanyak 142 negara mendukung resolusi tersebut, 12 abstain, sementara 10 negara memilih menolak. Di antara negara yang menolak, penolakan AS Mikronesia menjadi sorotan tajam. Amerika Serikat menilai langkah ini sebagai aksi simbolis yang salah waktu, sedangkan Mikronesia kembali memperlihatkan kedekatannya dengan garis politik Washington. Penolakan keduanya menimbulkan perdebatan mengenai konsistensi komitmen terhadap perdamaian global.
Sikap tersebut menegaskan bahwa persoalan Palestina-Israel bukan hanya soal regional, tetapi juga cerminan tarik-menarik geopolitik dunia. Penolakan AS Mikronesia menunjukkan bahwa dukungan luas internasional tidak selalu berbanding lurus dengan implementasi nyata di lapangan, terutama jika pihak yang terlibat langsung menolak langkah perdamaian yang diajukan.
Daftar isi
Dampak diplomatik dari penolakan
Keputusan mendukung atau menolak deklarasi dua negara tidak hanya berimplikasi pada Palestina dan Israel, tetapi juga pada peta kekuatan diplomasi global. Penolakan AS Mikronesia memberi sinyal bahwa ada kepentingan strategis yang lebih besar di balik sikap tersebut. Amerika Serikat, dengan hak veto di Dewan Keamanan, kerap menempatkan kepentingan Israel sebagai prioritas, sementara Mikronesia dikenal sebagai sekutu dekat Washington yang sering mengikuti arahan kebijakan luar negeri AS.
Banyak pengamat menilai bahwa penolakan tersebut justru memperdalam krisis legitimasi Amerika Serikat di mata komunitas internasional. Dengan 142 negara mendukung deklarasi, mayoritas dunia melihat solusi dua negara sebagai jalan keluar paling realistis. Namun, penolakan AS Mikronesia mempertegas jurang perbedaan sikap, sekaligus melemahkan kesan komitmen universal terhadap perdamaian.
Dari sisi diplomasi, Indonesia termasuk negara yang memberikan dukungan penuh. Hal ini konsisten dengan politik luar negeri Indonesia yang sejak lama memperjuangkan hak rakyat Palestina. Penolakan dari AS dan Mikronesia sekaligus memberi ruang bagi negara-negara Global South untuk menunjukkan posisi tegas dalam mendukung Palestina di forum internasional.
Reaksi dunia internasional
Deklarasi dua negara yang disahkan Majelis Umum PBB disambut antusias oleh banyak negara di Asia, Afrika, hingga Eropa Barat. Dukungan 142 suara dianggap sebagai pencapaian historis, meski tidak mengikat secara hukum seperti resolusi Dewan Keamanan. Namun, penolakan AS Mikronesia dinilai mereduksi kekuatan moral deklarasi tersebut.
Israel mengecam isi resolusi yang dianggap menguntungkan pihak Palestina, sementara Amerika Serikat menegaskan bahwa resolusi ini tidak akan membantu jalannya perundingan damai. Mikronesia pun berada di garis penolakan, memperlihatkan aliansi erat dengan Washington. Sikap ini berbeda jauh dengan mayoritas negara dunia yang mendukung jalan dua negara sebagai penyelesaian konflik.
Di sisi lain, negara-negara Arab menyambut positif deklarasi tersebut, terutama Arab Saudi sebagai salah satu pengusul. Dukungan ini memperlihatkan solidaritas kawasan terhadap Palestina. Meski demikian, tanpa dukungan Israel dan Amerika, penolakan AS Mikronesia semakin memperkuat kekhawatiran bahwa implementasi nyata di lapangan akan sulit terwujud.
Deklarasi dua negara yang disahkan Majelis Umum PBB merupakan simbol kuat bahwa mayoritas dunia menginginkan jalan keluar damai yang adil. Namun, penolakan AS Mikronesia memperlihatkan bahwa upaya perdamaian tetap menghadapi hambatan geopolitik yang besar.
Pertama, dari sisi politik internasional, deklarasi ini meningkatkan tekanan moral terhadap Israel untuk meninjau kembali kebijakan di wilayah pendudukan. Namun dengan AS menolak, Israel akan tetap merasa memiliki dukungan kuat untuk mempertahankan posisi kerasnya.
Kedua, dari sisi ekonomi dan kemanusiaan, deklarasi membuka peluang masuknya bantuan internasional ke Gaza dan Tepi Barat. Namun, hambatan politik dari penolakan AS Mikronesia bisa mengurangi efektivitas koordinasi bantuan karena salah satu kekuatan terbesar di dunia tidak ikut mendukung.
Baca juga : Deklarasi dua negara disahkan PBB picu kontroversi
Ketiga, dari sisi diplomasi, deklarasi ini memberi panggung bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk menunjukkan konsistensi mendukung Palestina. Namun, jurang sikap antara mayoritas dunia dan blok kecil penolak menunjukkan tantangan serius bagi implementasi nyata.
Pada akhirnya, meskipun penolakan AS Mikronesia menjadi noda dalam upaya global mewujudkan perdamaian, deklarasi dua negara tetap menjadi pijakan baru. Resolusi ini menegaskan bahwa mayoritas dunia masih percaya pada solusi dua negara sebagai jalan paling rasional dalam menyelesaikan konflik panjang Palestina-Israel.