Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali mencuri perhatian dengan komentarnya terkait parade militer megah di Beijing. Trump menyebut bahwa Xi tak sebut AS dalam pidatonya adalah hal yang mengecewakan, mengingat peran besar Amerika Serikat dalam membantu Tiongkok melawan Jepang di Perang Dunia II. Parade tersebut menandai peringatan 80 tahun kemenangan Sekutu, dihadiri oleh pemimpin besar dunia termasuk Vladimir Putin dan Kim Jong-un, serta menampilkan kekuatan militer China secara masif.
Trump mengaku terkesan dengan acara itu, menyebutnya “indah dan luar biasa.” Namun, ia menegaskan bahwa “Amerika Serikat seharusnya disebut karena kami sangat membantu China.” Komentar ini menyoroti bagaimana simbol-simbol diplomasi internasional bisa menjadi sumber ketegangan politik. Tidak disebutkannya AS dalam pidato Xi menimbulkan spekulasi global: apakah ini langkah strategis untuk menegaskan kemandirian narasi sejarah China, atau sinyal diplomatik tentang hubungan bilateral yang kian renggang.
Bagi Trump, isu Xi tak sebut AS tidak hanya menyangkut kehormatan nasional, melainkan juga alat politik dalam negeri. Ia menjadikannya bahan untuk memperkuat citra kepemimpinan yang tidak rela diabaikan di panggung global. Hal ini sekaligus mencerminkan bagaimana rivalitas Amerika dan China kini tak hanya berlangsung di bidang ekonomi dan teknologi, tetapi juga dalam narasi simbolik di arena diplomasi internasional.
Daftar isi
Diplomasi Parade Militer dan Reaksi Dunia
Parade militer Beijing dirancang untuk menunjukkan kebangkitan kekuatan militer China sekaligus memperingati kemenangan besar melawan Jepang. Pidato Xi menekankan kebangkitan “bangsa besar” dan terima kasih pada “sahabat internasional,” namun tetap tanpa penyebutan khusus terhadap Amerika Serikat. Isu Xi tak sebut AS sontak menjadi sorotan utama media internasional, karena publik melihat absennya referensi kepada Washington sebagai isyarat politik terselubung.
Rusia dan Korea Utara menegaskan kehadiran mereka sebagai sekutu strategis Beijing, memperlihatkan kekompakan simbolis di tengah ketegangan global. Amerika Serikat di sisi lain melihat parade ini sebagai panggung konsolidasi poros otoriter yang berpotensi menggeser dominasi Barat. Sekutu NATO turut menyoroti absennya penyebutan AS, menyebut hal itu sebagai langkah yang disengaja untuk mengirim pesan geopolitik.
Trump tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan menyoroti Xi tak sebut AS, ia berusaha mengingatkan dunia tentang kontribusi historis Amerika sekaligus menegaskan posisinya sebagai pemimpin yang vokal dalam menjaga harga diri nasional. Namun, pengamat menilai Xi memang sengaja menahan diri dari menyebutkan AS demi menegaskan narasi kebangkitan domestik tanpa mengaitkan diri pada Barat. Diplomasi simbolik seperti ini menunjukkan bahwa dalam geopolitik modern, apa yang tidak dikatakan bisa sama pentingnya dengan apa yang diucapkan.
Dampak Geopolitik dan Dinamika Regional
Ketegangan akibat isu Xi tak sebut AS memperlihatkan betapa rapuhnya hubungan diplomatik antara Washington dan Beijing. Amerika kini terdorong memperkuat aliansi dengan Jepang, Korea Selatan, serta negara-negara di Indo-Pasifik untuk menghadapi potensi manuver China. Sementara itu, Beijing terus menekankan kerja sama dengan Rusia dan Korea Utara sebagai cara menyeimbangkan pengaruh Amerika di kawasan.
Negara-negara Asia Tenggara turut mencermati situasi ini. Bagi mereka, parade militer dan absennya penyebutan AS menjadi pengingat bahwa rivalitas dua kekuatan besar dunia bisa berimbas pada stabilitas regional. Indonesia, Singapura, dan Malaysia menekankan pentingnya diplomasi seimbang agar tidak terjebak dalam tarik-menarik dua kutub geopolitik.
Di sisi lain, masyarakat global melihat Xi tak sebut AS sebagai simbol era multipolar baru, di mana narasi sejarah dimanfaatkan sebagai senjata diplomasi. Washington merasa diabaikan, sementara Beijing merasa berhak menyusun cerita sejarahnya sendiri. Perbedaan interpretasi inilah yang membuat tensi semakin tinggi, karena masing-masing pihak berlomba mempertahankan pengaruh di mata dunia.
Di dalam negeri, Trump menggunakan isu Xi tak sebut AS untuk menegaskan kembali posisinya sebagai pemimpin yang tidak rela diremehkan. Ia menekankan bahwa penghargaan terhadap kontribusi Amerika di masa lalu adalah simbol penting dalam diplomasi modern. Komentar-komentar Trump di media sosial cepat menyebar, menjadi bahan perdebatan di kalangan publik Amerika yang terbelah antara mereka yang mendukung sikap keras terhadap China dan mereka yang menilai pernyataan Trump berlebihan.
Media Barat menyebut kekecewaan Trump sebagai bagian dari strategi politik domestik jelang pemilu. Dengan mengangkat isu simbolis ini, ia berusaha memperkuat citra patriotik dan menggalang dukungan basis pemilih yang sensitif terhadap harga diri nasional. Namun, media pro-China menilai reaksi Trump sebagai bentuk kecemasan berlebihan terhadap kebangkitan Asia.
Baca juga : Trump Tuduh Konspirasi Anti-Amerika di Beijing
Apapun interpretasinya, isu Xi tak sebut AS menunjukkan bahwa rivalitas geopolitik kini tidak lagi hanya berkisar pada ekonomi atau militer, tetapi juga pada simbol, pidato, dan narasi sejarah. Setiap kata—bahkan ketidakhadiran sebuah kata—dapat dimaknai sebagai pesan politik. Hubungan AS-China ke depan akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana kedua belah pihak mengelola simbol dan persepsi ini.
Jika diplomasi gagal menjembatani perbedaan, dunia berisiko menghadapi era baru rivalitas terbuka. Namun jika dikelola dengan cermat, momen ini bisa menjadi peluang untuk merumuskan dialog yang lebih jujur. Pada akhirnya, absennya penyebutan Amerika dalam pidato Xi telah membuka babak baru diskusi tentang bagaimana sejarah, diplomasi, dan politik domestik berkelindan dalam panggung global. Xi tak sebut AS kini menjadi metafora atas kompleksitas hubungan internasional di era multipolar.